Thursday, January 31, 2013

KETIKA ‘KEHENDAK’ MENENTUKAN SEGALANYA





MUNCULNYA realitas alam semesta beserta segala isinya, diceritakan oleh Al Qur’an dengan hirarki yang menarik. Bahwa segala sesuatu ini bermula dari SANG KEHENDAK. Kehendak-Nya itulah yang mewujud menjadi INFORMASI penciptaan sebagai kalimat ‘KUN’. Dan lantas, mewujud menjadi SUNNATULLAH, dalam bentuk hukum-hukum alam yang mengendalikan ruang-waktu-materi-energi sebagai penyusun semesta.

Sedangkan ILMU, adalah pengetahuan atas segala realitas itu. Yakni, bentuk INFORMASI yang ‘terurai’ seiring dengan berkembangnya alam semesta. Seiring dengan proses penciptaan yang terus berlangsung. Seiring dengan proses pemahaman ‘siapa’ yang ingin menguasai ilmu itu.

Jika kita mengarahkan ‘ilmu’ itu sebagai ilmu-Nya, maka dengan sederhana kita bisa memahami, bahwa ilmu-Nya pasti meliputi seluruh alam semesta. Sebagaimana berulang kali Dia firmankan di dalam kitab suci. Pengetahuan-Nya pasti meliputi langit dan bumi, karena ruang-waktu-energi-materi ini memang adalah perwujudan dari kalimat-Nya belaka. Sedangkan ‘kalimat’ itu muncul atas kehendak-Nya. Dan ‘kehendak’ itu adalah salah satu sifat-Nya. Jadi pengetahuan-Nya terhadap realitas bersifat mutlak.

Di sisi lain, 'ilmu manusia' berkembang seiring proses pembelajaran. Sepanjang usianya. Sepanjang peradabannya. Yang baru ‘ribuan tahun’ belaka. Dan tak akan pernah bisa memahami alam semesta yang demikian luasnya itu dengan ilmunya. Mengingat, dimensi ruang yang maha raksasa, dimensi waktu yang tiada terkira panjangnya, dimensi materi-energi yang semakin misterius di skala makrokosmos maupun mikrokosmos.

Ilmu manusia terus bergerak dalam koridor ‘dugaan-dugaan’ secara trial and error. Pemahaman yang lalu ternyata ‘keliru’, maka diperbaiki dengan pemahaman hari ini yang ‘seakan-akan’ sudah benar. Tetapi, sepanjang sejarah ilmu pengetahuan kita selalu menjumpai fakta, bahwa ‘dugaan-dugaan’ sains itu selalu ‘keliru’ dalam berbagai skalanya.

Dulu mengira materi terkecil adalah atom, ternyata ‘keliru’. Setelah itu mengira partikel sub atomic, ternyata juga ‘keliru’. Setelah itu mengira quark, mungkin juga akan ‘keliru’. Dan seterusnya. Sains menyebutnya sebagai ‘perkembangan’ ilmu. Tetapi, Al Qur’an menyebutnya sebagai ‘dugaan-dugaan’ yang selalu ‘keliru’ dalam memahami realitas secara holistik. Hanya ‘benar’ dalam skala parsial dan kondisional.

QS. An Najm (53): 28-30
Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan-dugaan semata, padahal sesungguhnya dugaan-dugaan itu tidak berfaedah untuk (membuktikan hakikat) kebenaran.

Maka berpalinglah dari orang yang tak menghiraukan peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali hanya kehidupan duniawi.

Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang keliru dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Maka kalau kita berbicara dalam ranah hakikat kebenaran, kita harus mengacu kepada sang pemilik kebenaran itu. Informasi-informasi yang akurat. Bukan trial & error seperti yang ditunjukkan Sains. Karena, sebagaimana saya ungkapkan di note sebelumnya, sains dimulai dari ‘ketidaktahuan’ dan akan berakhir di ‘ketidaktahuan’ pula. Itu sudah terbukti selama ribuan tahun perkembangannya. Itulah ‘sejauh-jauh’ ilmu yang dimiliki manusia, kata Allah dalam ayat di atas.

Nah, Allah menganjurkan para pencari kebenaran, untuk memandu proses pengetahuannya dengan kitab suci. Karena dengan kitab suci inilah Allah mengarahkan proses keilmuan agar tetap berada di koridor yang benar. Dan segera mencapai tujuan final dalam usia manusia yang terbatas. Karena, tanpa petunjuk kitab suci, usia manusia tidak akan cukup untuk menemukan hakikat kebenaran. Meskipun ditambah dengan seluruh usia peradaban.

Apakah hakikat kebenaran itu? Adalah realitas. Apakah hakikat realitas? Adalah ruang-waktu-materi-energi. Apakah hakikat ruang-waktu-materi-energi itu? Adalah informasi. Apakah hakikat informasi itu? Adalah kalimat KUN. Apakah hakikat ‘kun’? Adalah ‘Kehendak’. Dan apakah hakikat ‘kehendak’ itu? Ialah Diri-Nya. Lantas, apakah hakikat DIA itu? Adalah laisa kamitslihi syai-un ~ ‘Tidak Bisa Dijelaskan’. Karena kita semua berada di dalam-Nya, sehingga tidak mungkin bisa menjelaskan tentang Dia, kecuali parsial. Itupun dipandu oleh Dia sendiri lewat firman-firman-Nya.

QS. Thaahaa (20): 110
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

Nah, ketika sudah sampai di hakikat segala kebenaran ini, ilmu manusia sudah tidak mungkin menjangkau-Nya. Inilah yang berulangkali diceritakan oleh Al Qur’an. Bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga mesti berpatokan pada kitab suci yang menerangi pemahaman kita.

QS. Al Hajj (22): 8
Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (suci) yang bercahaya.

QS. Luqman (31): 20
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (eksistensi) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Jangankan tentang Allah, tentang yang gaib-gaib seperti akhirat saja misalnya, pengetahuan manusia sudah tidak mencukupi untuk menjelaskannya. Allah menyebutnya dengan kalimat: pengetahuan mereka ‘tidak sampai’ kesana. Bahkan, ditegaskan mereka ‘buta’ tentang akhirat.

QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai, malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, bahkan mereka buta tentangnya.

QS. Az Zukhruf (43): 85
Dan Maha Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang ada di antara keduanya; dan di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Maka, manusia yang tidak berpedoman kepada kitab suci akan terjebak pada kehidupan dunia. Mereka mengira bahwa kematian adalah akhir dari segala-galanya. Dan setelah itu tak ada kelanjutannya lagi. Oh, sungguh dia akan menyesalinya, justru setelah kematian datang kepadanya.

QS. Al Jatsiyah (45): 24
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali waktu". Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.

QS. Al Haaqqah (69): 27
Wahai, seandainya KEMATIAN itulah yang MENGAKHIRI segalanya...

Penyesalan selalu datang di akhir. Padahal, sama sekali tidak ada ruginya jika kita mau lebih bijaksana. Bahwa ‘teko’ kecil yang ‘terselip’ di ruang angkasa di sela-sela galaksi maha raksasa itu adalah sebuah realitas. Sama-sama riilnya antara yang kecil dan yang besar. Sehingga menganggapnya sebagai ‘peluang kecil’ yang harus dilupakan adalah sebuah ‘kesembronoan’.

Tetapi, sebagaimana saya tuliskan di awal note ini, bahwa hakikat segala realitas ini memang adalah ‘kehendak’. Artinya, terserah kepada siapa saja yang ingin berkehendak. Apakah ia mau menelusuri realitas itu sampai kepada Sang Maha Berkehendak, ataukah berhenti pada kehendak dirinya sendiri. Karena Allah memang telah mengimbaskan kehendak-Nya kepada manusia lewat ruh-Nya, sebagai ‘pilihan bebas’ dengan segala konsekuensinya. Mau menjadi atheis maupun hamba yang berserah diri hanya kepada-Nya, ya monggo-monggo saja… :)

~ Salam  Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~



Wednesday, January 30, 2013

KETIKA SAINS TAK MAMPU MENJAWAB YANG GAIB





Kalau menjawab pertanyaan ‘KENAPA’ saja Sains tak mampu, apalagi menjawab hal-hal yang GAIB, seperti: Jiwa, Ruh, Kehendak, Alam Kematian, Alam Akhirat, Kiamat, Takdir, Malaikat, Jin, dan lain sebagainya. Paling-paling, jawaban yang keluar dari seorang pakar sains hanyalah: semua itu di luar wilayah sains. Atau, itu berada dalam wilayah ‘keimanan’… :)

Hanya sebatas itulah memang ‘kemampuan’ Sains. Karena ia dikembangkan berdasar kemampuan berpikir kulit otak yang bersifat sensorik, berdasar panca indera. Sehingga, sesuatu baru diakui sebagai evidence atau bukti ketika bisa dilihat, didengar, dibaui, dikecap, dan diraba. Secara langsung, maupun setelah ditransfer ke variable-variabel yang bisa diamati oleh panca indera.

Di luar itu, Sains sudah tidak mampu. Tetapi, itu memang ‘tidak salah’. Dan tidak bisa disalahkan. Karena para pakar Sains memang sudah ‘membatasi diri’ seperti itu. Sehingga, konsekuensinya, segala sesuatu yang di luar wilayah ‘terbukti’ itu lantas dinamai dengan: pseudo-science, paranormal, metafisika dan lain sebagainya. Pada tingkat ini, saya masih bisa ‘sependapat’ atau setidak-tidaknya mengapresiasi-lah.

Yang saya menjadi tidak sependapat itu adalah: ketika para pakar Sains berpendapat bahwa SEGALA SESUATU yang tidak bisa dijelaskan oleh Sains berarti TIDAK ADA. Alias bukan realitas. Inilah masalah utamanya, sehingga kenapa saya mengeluarkan ungkapan: ‘Sains bukan segala-galanya’. Karena, Sains memang tidak bisa menjelaskan segala-galanya. Dan, sama sekali tidak benar, HANYA Sains saja yang bisa menjelaskan realitas. Selebihnya tidak bisa. Inilah yang saya sebut sebagai’ kepongahan’ itu..! Bukan kepongahan sains memang, lebih tepatnya adalah kepongahan para pakar Sains yang berpendapat seperti itu.

Woow, terlalu banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh Sains. Jangankan yang ‘gaib-gaib’, yang tidak gaib saja sedemikian banyaknya. Melanjutkan sedikit, tentang ketidakmampuan Sains menjawab pertanyaan ‘kenapa’ di note saya sebelumnya; situasinya akan menjadi sangat ‘menggelikan’ ketika Anda mengejar para pakar sains dengan pertanyaan KENAPA itu.

Ketika saya tanyakan: KENAPA ada laki-laki dan perempuan? Dijawabnya: karena ada kromosom XY dan XX. Tapi cobalah kejar lagi dengan pertanyaan: Lha, KENAPA ada kromosom XX dan XY? Mungkin dia akan menjawab: karena diatur oleh sejumlah gen yang ada di dalam kromosom. Kemudian, Anda bertanya lagi: Lha, KENAPA kok ada gen-gen yang bisa mengatur terjadinya jenis kelamin itu? Mungkin, dia akan menjawab: yaa, karena ada seleksi alam..!

Hheehe, terus KENAPA ada seleksi alam? Kira-kira jawabannya: Mmm.., ya karena alam ini memang punya hukum untuk menyeleksi..! Hhahaa, mulai mbulet kan..?! Tapi, Anda masih bisa terus bertanya dengan ‘KENAPA’. Lhaa iya, KENAPA kok alam punya kemampuan untuk menyeleksi? Trus dijawab lagi: Ya pokoknya begitulah…!! Nah, dialog seperti inilah yang akan menjadi ‘akhir’ dari diskusi antara Atheis dan Tasawuf Modern tentang sains.

Saya tentu tidak pernah menyalahkan sains sabagai ilmu. Lha wong saya juga penggemar sains. Saya cuma ingin menunjukkan bahwa Sains bukan segala-galanya. Apalagi, Sains bekerja secara trial & error. Dicoba, kalau ‘salah’ diluruskan, dan kalau ‘benar’ diteruskan. Sehingga adalah sebuah ‘kekeliruan besar’ kalau ada orang yang begitu mengagungkan Sains, sehingga mengira hanya dengan Sains-lah manusia bisa MEMAHAMI seluruh REALITAS. Hmm, dia sedang bermimpi di siang bolong. Atau, mungkin mimpi sambil berdiri, kayak foto di wall saya itu… :)

Kecuali, dia sudah mendefinisikan bahwa yang disebut ‘realitas’ itu HANYALAH yang dipahami oleh Sains. Selebihnya bukan realitas, karena tidak bisa dipahami oleh sains. Wah, kalau sampai muncul klaim demikian, ini sudah bukan kepongahan lagi, tapi sudah arogansi. Dan, menjungkir-balikkan makna realitas. Karena, Sains sendiri masih terus berkembang secara trial & error untuk memahami realitas yang belum diketahuinya.

Jadi, masalahnya sangat SEDERHANA. Sains itu cuma SECUIL ilmu yang ada dalam REALITAS. Alam semesta ini adalah SAMUDERA ILMU. Yang sudah terungkap barulah SETETES saja. Masih jauh lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah. Ibarat ruang alam semesta: lebih banyak ruang GELAP-nya, daripada kerlipan CAHAYA bintang pengisinya. Itulah yang difirmankan Allah dalam ayat berikut ini.

QS. Luqman (31): 27
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan lautan (menjadi tinta). Kemudian ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudah (kering)-nya, niscaya TIDAK akan HABIS-HABIS-nya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, AGAR kamu MENGETAHUI bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ILMU-Nya benar-benar MELIPUTI segala sesuatu.

Begitulah sahabat, kalau Anda men-challenge Sains dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar secara beruntun, maka diskusinya akan berujung pada ‘ketidak-tahuan’. Ya memang itulah hakikat sains. Ia berangkat dari ‘ketidaktahuan’ dan akan berakhir dengan ‘ketidaktahuan’. Karena itu, jangan menjadikan Sains sebagai alat untuk ‘MELIHAT’ Tuhan. Sehingga, kalau Tuhan tidak bisa ‘dilihat’ dengan Sains lantas berkesimpulan bahwa TUHAN itu TIDAK ADA. Hhehe.., lha wong ‘peralatannya’ yang keliru, kok menyalahkan Realitas-Nya. Terlalu naïf kawan..!

Manusia memiliki perangkat yang jauh lebih ‘keren’ selain Pikiran Sadar yang menjadi sumber Sains itu. Yakni, Alam Bawah Sadar. Islam menyebutnya sebagai Qalb & Fu-aad. Dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi HATI. Ada juga yang menyebutnya sebagai INTUISI. Ada lagi, INDERA KEENAM alias the sixth sense. Dan sebagainya. Ia memiliki kemampuan mengolah informasi ratusan ribu kali lipat lebih dahsyat dibandingkan Pikiran Sadar.

Islam mengajarkan PERPADUAN antara Pikiran Sadar dan Bawah Sadar itu secara simultan dengan panduan firman-firman Sang Pemilik Ilmu. Di dalam Al Qur’an disebut sebagai ‘tafakur’ dan ‘dzikir’. Atau, ada yang menyebut intetelektualitas dan hati. Jangan hanya digunakan salah satunya, karena bisa menjebak pada kesalahkaprahan. Orang yang hanya menggunakan ‘pikirannya’ akan terjebak kepada hal-hal yang materialistik saja. Sedangkan orang-orang yang hanya menggunakan ‘hatinya’ akan terjebak kepada ketidakpastian yang tak terkendali. Perpaduannya menghasilkan kesempurnaan yang disebut sebagai kualitas ULUL ALBAB. Tipikal orang seperti inilah yang kata Al Qur'an bakal bisa mengambil pelajaran dari Firman-Nya dengan sebaik-baiknya.

QS. Ali Imran (3): 7
… Dan TIDAK DAPAT mengambil PELAJARAN kecuali orang-orang yang menggunakan akal (ulul albab).

Maka, bagi agama Islam, pembelajaran SAINS adalah sebuah KENISCAYAAN. Sebagaimana niscayanya penggunaan HATI. Itulah yang tergambar dalam ratusan ayat-ayat Al Qur’an yang selalu menjadi landasan saya dalam menulis buku-buku Diskusi Tasawuf Modern. Sebuah pembelajaran dengan mekanisme Ulul Albab.

QS. Ali Imran (3): 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ULUL ALBAB), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (DZIKRULLAH) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka TAFAKUR (berpikir secara ilmiah) tentang penciptaan langit dan bumi (sampai menyimpulkan): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Dengan perpaduan antara dzikir dan tafakur itulah umat Islam tidak TERBELENGGU ke dalam pemahaman PARSIAL dalam memahami REALITAS. Mulai dari yang bersifat materialistik, energial, maupun spiritual. Mulai dari alam dunia, alam barzakh, sampai alam akhirat. Atau, dari yang bersifat badaniyah, nafsiyah, sampai ruhiyah. Islam mengajarkan SAMUDERA ILMU kepada hamba-hamba-Nya yang ingin memahami realitas dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena, semuanya itu memang ilmu-ilmu Allah, Dzat Maha Berilmu yang menguasai segala realitas jagat semesta. Inilah yang disebut sebagai BERTAUHID hanya kepada ALLAH itu... :)

QS. An Nisaa’ (4): 126
KEPUNYAAN Allah-lah apa yang di LANGIT dan apa yang di BUMI, dan adalah Allah Maha MELIPUTI segala sesuatu.

~ Salam Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~

MEMPELAJARI SAINS ADALAH IBADAH





BAGI umat Islam belajar sains adalah ibadah. Karena sains itu sendiri adalah perwujudan dari ilmu Allah di alam semesta, yang disebut sebagai ayat-ayat KAUNIYAH. Karena itu, wahyu yang pertama turun kepada Rasulullah SAW adalah perintah membaca – IQRA’. Dan wahyu keduanya adalah AL QALAM (Pena). Jadi, betapa eksplisitnya Allah memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan terkait dengan proses beragama Islam.

Itulah yang saya tuliskan dalam note sebelumnya sebagai MENTAUHIDKAN ilmu pengetahuan. Bahwa agama dan ilmu bukanlah sesuatu yang terpisah. Apalagi bertabrakan. Tidak ada seorang muslim pun yang sudah memahami agamanya dengan baik, menabrakkan agama dan sains. Menabrakkan agama dan sains itu adalah pekerjaan orang-orang sekuler, termasuk di dalamnya Atheis. Karena itu, notes ini saya beri tema: Sekularisme vs Ketauhidan. Yang satu memisahkan agama & sains, yang lainnya menjadikannya dalam satu tarikan nafas sebagai praktek keagamaannya.

Cikal bakal paham sekuler yang memisahkan agama dengan sains itu sebenarnya diawali di Eropa, dimana agama yang dominan waktu itu adalah Kristen dengan kekuasaan gereja yang hampir tidak ada batasnya. Pemberontakan terhadap kekuasaan gereja dengan segala hegemoninya itulah yang memunculkan ilmuwan-ilmuwan sekuler penentang ajaran Kristen. Termasuk pemberontakan mereka terhadap ajaran agama yang dianggapnya tidak ‘ilmiah’. Karena bertentangan dengan sains. Sehingga memunculkan tragedi Galileo, misalnya.

Hal semacam ini tidak terjadi di dalam sejarah Islam. Agama Islam tidak pernah memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Apalagi membunuhi ilmuwan. Alih-alih menghukumnya, para khalifah malah mendukung perkembangannya. Sehingga bermunculanlah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan kelas dunia di zaman keemasan Islam, dengan fasilitas-fasilitas penelitian yang sangat maju di masanya.

Diantaranya yang sering kita dengar adalah Al-Fazari, Astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani alias Al-Faragnus, penulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
               
Di bidang kedokteran kita kenal nama Ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah penemu penyakit cacar dan penyusun buku kedokteran anak pertama kalinya. Sedangkan Ibnu Sina adalah seorang filosof penemu sistem peredaran darah pada manusia. Salah satu karyanya, al-Qonun fi al-Thibb merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
               
Di bidang optikal, Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami alias Alhazen adalah fisikawan yang berpendapat untuk pertama kalinya bahwa bukan mata yang mengirim cahaya ke benda, melainkan bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
               
Dalam ilmu kimia, Jabir ibn Hayyan adalah tokoh terkenalnya. Sedangkan di bidang matematika dikenal nama Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah pencipta ilmu Aljabar. Kata Aljabar berasal dari judul bukunya, al-Kitab al-Mukhtashor fi Hisab al-Jabr wa al-Muqobalah

Dalam ilmu sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli Geografi yang mengarang buku Muuruj al-Zahab wa Ma’adin al-Jawahir. Sementara itu, di bidang filsafat ada tokoh-tokoh terkenal seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Sedangkan Ibn Sina mengarang asy-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak mempengaruhi pola pikir Barat sehingga di sana ada aliran Averroisme. Dan lain-lainya. Dan seterusnya.

Maka, menjadi ‘tidak nyambung’ memang, jika ada bantahan yang mempertentangkan antara ‘agama’ dengan sains dialamatkan kepada umat Islam. Itu sama saja dengan mempertentangkan antara pohon dengan batang, atau cabang, atau ranting-ranting. Lha ya nggak klop-lah… :(

Bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan adalah ibadah. Dan bernilai pahala. Karena, sains tak lebih hanyalah ALAT untuk memahami ilmu-ilmu Allah yang dihamparkan di alam semesta. Ratusan ayat ilmu pengetahuan yang bertaburan di dalam Al Qur’an, dan mendorong umat Islam agar melakukan pembuktian-pembuktian secara saintifik. Misalnya, ayat populer berikut ini.

QS. Al Ghaasiyah (88): 17-20
Maka apakah mereka tidak MENGOBSERVASI unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

QS. An Nahl (16): 79
Tidakkah mereka MENGOBSERVASI burung-burung yang dimudahkan TERBANG di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang beriman.

QS. Asy Syu’araa (26): 7
Dan apakah mereka tidak MENGOBSERVASI bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

QS. Al Qashash (28): 72
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak MENGOBSERVASINYA?"

QS. Luqman (31): 31
Tidakkah kamu MENGOBSERVASI bahwa sesungguhnya KAPAL itu BERLAYAR di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (ilmu)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.

QS. As Sajdah (32): 27
Dan apakah mereka tidak MENGOBSERVASI, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?

QS. Yaa Siin (36): 77
Dan apakah manusia tidak MENGOBSERVASI bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!

QS. Az Zumar (39): 21
Apakah kamu tidak MENGOBSERVASI, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan AIR dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

QS. Al Mukmin (40): 21
Dan apakah mereka tidak mengadakan PERJALANAN di muka bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Mereka itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas SEJARAH mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung pun dari azab Allah.

QS. Muhammad (47): 24
Maka apakah mereka tidak MENGOBSERVASI Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?

QS. Adz Dzaariyat (51): 21
dan (juga) pada DIRIMU sendiri. Maka apakah kamu tidak MENGOBSERVASINYA?

QS. Al Mulk (67): 19
Dan apakah mereka tidak MENGOBSERVASI burung-burung yang MENGEMBANGKAN dan mengatupkan SAYAP-nya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.

QS. Abasa (80): 24
maka hendaklah manusia itu memperhatikan MAKANAN-nya.

QS. Ath Taariq (86): 5
Maka hendaklah manusia memperhatikan DARI APA dia diciptakan?

Dan sebagainya, dan seterusnya. Demikian banyak ayat-ayat motivasi untuk melakukan penelitian dan pembelajaran ilmu pengetahuan. Kualitas keislaman seseorang dan penghambaannya kepada Allah sangat terkait dengan ilmu pengetahuannya. Sehingga Allah menyebut ‘HANYA’ para ILMUWAN-lah yang benar-benar ‘takut’ kepada Allah. Yang bukan ilmuwan (ulama), takutnya hanya sekedar pura-pura takut, atau ditakut-takutkan, atau dipaksa takut.

QS. Faathir (35): 27-28
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada yang hitam pekat.

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Sesungguhnya yang TAKUT kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, HANYA-lah para ULAMA (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.

Maka, ringkas kata, dalam Islam tidak ada pemisahan alias sekulerisme antara agama dan sains. Pembelajaran ilmu pengetahuan justru digunakan untuk menyempurnakan proses berserah diri kepada Allah sebagai puncak kualitas seorang muslim. Bahwa, kemudian ada yang menuduh Islam sebagai agama dogmatis dan doktrinal yang berlawanan dengan sains, yaah itu hak orang untuk bicara apa saja. Umat Islam lebih baik menanggapinya dengan berbesar hati. Kebenaran adalah milik Allah, dan kelak akan Dia buktikan sendiri kepada seluruh manusia. Umat Islam diajari untuk rendah hati, dan memaafkan ‘ketidak-tahuan’ mereka dengan cara-cara yang baik… :)

QS. Al Hijr (15): 85-86
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya (kebenaran) hari kiamat itu pasti akan datang, maka MAAFKANLAH (mereka) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Maha Pencipta lagi Maha MENGETAHUI.

~ Salam Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~