Wednesday, September 12, 2012

Culture Shock




Tinggal di daerah zona waktu yang berbeda memang membutuhkan penyesuaian diri. Karena keteraturan pola hidup tergantung pada keteraturan penggunaan waktu. Banyuwangi dan Bali jaraknya begitu dekat,  hanya dipisahkan oleh selat Bali. Jarak selat ini kurang lebih 2 KM. Meskipun hanya menghabiskan waktu sekitar 45 menit untuk menyeberanginya dengan menggunakan kapal Ferry. Zona waktu di kedua tempat ini berbeda. Banyuwangi masuk Waktu Indonesia bagian Barat (GMT +7), sedangkan Bali merupakan salah satu wilayah yang menggunakan zona Waktu Indonesia bagian Tengah (GMT +8). Jadi terpaut satu jam!

Ada istilah Culture Shock dalam dunia psikologi. Di mana kondisi ini terjadi ketika seseorang mengalami disorientasi pada lingkungan barunya yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Sebuah pengalaman menarik ketika awal-awal saya tiba di Bali. Handphone saya yang tersetting otomatis perbaruan zona waktu setempat menunjukkan pukul tujuh. Kalau di Banyuwangi jam tujuh sinar matahari cukup banyak dan suasana sosial sudah menunjukkan kehidupannya, sedangkan di Bali berbeda. Pagi masih tampak gelap dan udara masih cukup dingin. Setelah dipikir-pikir ternyata memang lah tidak sama, karena  pukul 7 di Bali sebanding dengan pukul 6 di Banyuwangi.

Memahami karakter waktu sangat penting. Terlebih jika berhubungan dengan sholat. Jika di Banyuwangi jam 4 pagi sudah masuk waktu shubuh, tetapi di Bali waktu shubuh adalah jam 5. Mungkin awalnya terlihat sederhana, tinggal mengurangi satu jam untuk menyamakan pola. Namun percayalah itu bukan barang yang mudah.

Walau demikian, saya rasa penyesuaian orang dari WIB ke WITA lebih tidak seberisiko daripada sebaliknya. Dengan waktu yang sama orang yang pertama mungkin terjebak dengan pola “terlalu awal”, dan itu lebih baik dari pada pola selanjutnya yang “terlambat”, sehingga yang tampak adalah kesan orang yang rajin bagi yang terbiasa dengan zona WIB.  

Tidak ketinggalan juga tentang kebiasaan dan adat istiadat. Bali yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, menjadikan nuansa pulau dewata sangat kental dengan ritual yang jarang ditemui di Banyuwangi yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Musholla atau pun masjid cukup sulit ditemukan. Dan suara adzan menjadi barang langka jadinya. Memang ada daerah yang banyak didiami masyarakat muslim seperti Singaraja, ada pula yang didominasi umat Hindu. Hal tersebut lah yang mempengaruhi ketersediaan fasilitas ibadah. Untuk kota besar seperti Denpasar, cukup banyak masjid yang bisa dimanfaatkan umat muslim untuk sholat.

Selain perihal peribadatan, permasalahan seputar makanan turut menjadi perhatian penting. Bagi umat muslim, ada batasan hukum tersendiri untuk jenis makanan. Meskipun banyak ditemui warung atau rumah-rumah makan yang menyediakan menu halal, tetapi lebih banyak lagi dijajakan makanan yang notabene tidak boleh dimakan alias haram.

Terlepas dari itu semua, ada yang menarik perhatian saya. Percampuran budaya dan agama tetap menjadikan Bali menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk tempat tinggal. Sebagaimana sering saya lihat, banyak kendaraan yang diparkir di luar rumah atau ditaruh di gang-gang sepanjang malam.