Sunday, February 10, 2013

APA PUN YANG TERJADI, BUMI PASTI MATI





Suatu ketika di tahun 1988, saya membaca koran Jawa Pos di halaman Opini. Salah seorang wartawannya menulis cerita tentang ‘Kematian Bumi’, yang membuat saya tergerak untuk menanggapinya. Waktu itu, saya memang belum menjadi wartawan koran terbesar di wilayah timur itu. Tanggapan saya pun bak gayung bersambut, dan memunculkan polemik berbulan-bulan dengannya. Kami beradu argumentasi tentang kemungkinan matinya planet Bumi. Intinya, bagaimana pun caranya, planet Bumi ini pasti akan mengalami kematian alias kiamat.

Ada beberapa penyebab yang bisa mematikan peradaban di muka bumi ini. Diantaranya adalah kalau terjadi perang nuklir. Jika semua negara yang punya bom nuklir bertarung, maka hasilnya tidak akan ada yang menang. Semuanya kalah, karena akan terjadi kehancuran yang sangat fatal, ribuan kali lebih fatal dibandingkan apa yang terjadi di Nagasaki dan Hiroshima saat Perang Dunia II. Itulah sebabnya, tidak ada negara – blok Barat maupun blok Timur – yang berani menyulut perang nuklir. Paling banter hanya gertak-gertakan belaka. Termasuk kepada Iran sekarang ini, yang diduga sudah bisa memproduksi bahan bakar bom Nuklir sendiri.

Penyebab lainnya, planet Bumi akan mengalami kematian jika sumber energi utamanya, yakni matahari mengalami masalah serius. Misalnya tiba-tiba terjadi ledakan dahsyat yang lidah apinya menjulur sampai ke Bumi. Planet yang ‘hanya’ berjarak 150 juta kilometer dari gumpalan api raksasa bernama matahari ini dijamin bakal ‘gosong’ kayak sate kelamaan dipanggang. Atau sebaliknya, ketika matahari itu kelak padam karena bahan bakarnya habis, planet Bumi bakal mati kedinginan. Meskipun, itu baru akan terjadi miliaran tahun lagi. Tetapi, yang demikian ini adalah sebuah keniscayaan yang trennya bisa dihitung dengan sederhana.

Penyebab lainnya lagi, peradaban di muka Bumi bakal mengalami catastrophe alias kiamat jika Bumi diserbu oleh bebatuan dari luar angkasa yang memang begitu banyak berseliweran di angkasa sana. Salah satu diantaranya adalah yang berasal dari kabut Oort – kumpulan miliaran batu komet yang bergerombol dan ‘bergerak secara akrobatik’ di luar tatasurya kita. Komet-komet itu diperkirakan sudah memberi masalah beberapa kali ke planet Bumi, dan menghasilkan kiamat-kiamat di masa lalu. Diantaranya, terjadi di zaman dinosaurus. Saat itu, gerombolan dinosaurus pun mengalami kepunahan massal.

Dan seterusnya, kemungkinan-kemungkinan matinya Bumi itu menjadi pembahasan yang sangat menarik selama berbulan-bulan. Meskipun berbeda sudut pandang, kami tetap memiliki keyakinan yang sama bahwa bagaimana pun caranya, Bumi suatu ketika pasti akan mengalami kematiannya. Setidak-tidaknya jika matahari sudah kehabisan bahan bakarnya, dan kemudian meledak sebagai supernova yang menelan benda-benda langit di sekitarnya. Termasuk Bumi.

Maka, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa kiamat Bumi adalah sebuah keniscayaan. Pasti terjadi, entah kapan. Cuma soal waktu saja. Pemahaman tentang trend inilah yang menjadi landasan keyakinan kita semua tentang kebenaran Al Qur’an, bahwa kiamat itu pasti terjadi. Meskipun waktunya dirahasiakan oleh-Nya. Kiamatnya Bumi, oleh Al Qur’an diceritakan sebagai catastrophe peradaban diakibatkan oleh serbuan bebatuan dari luar angkasa. Diperkirakan gerombolan bebatuan itu datang dari kawasan kabut Oot tersebut. Allah menginformasikan dalam sejumlah ayat berikut ini.

QS. Thaahaa (20): 15
Segungguhnya hari KIAMAT itu pasti datang. Aku MERAHASIAKAN (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang ia usahakan (selama hidup di dunia).

QS. Al Mulk (67): 16-17
Apakah kamu merasa aman terhadap yang di langit bahwa Dia akan MENJUNGKIR-BALIKKAN bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap yang di langit bahwa Dia akan MENGIRIMKAN BADAI BERBATU. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (dahsyatnya) peringatan-Ku?

Dalam buku ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’, saya menjelaskan secara lebih detil tentang suasana kehancuran peradaban Bumi disebabkan oleh Badai Berbatu yang dikirim dari luar angkasa itu. Digambarkan oleh ayat di atas, planet Bumi sampai terjungkir balik dibuatnya. Ini menunjukkan dahsyatnya serbuan bebatuan tersebut.

Untuk bisa menjungkirbalikkan planet Bumi, mestinya bukan hanya bebatuan kecil yang menyerbu Bumi, melainkan ada bebatuan raksasa yang ketika bertabrakan dengan planet ini bisa sampai menggoncang sumbu rotasinya, dan menjadi terjungkir – kutub utara terbalik menjadi kutub selatan. Efeknya, Bumi bakal berotasi secara terbalik dari arah timur ke barat. Sehingga matahari yang biasanya terlihat terbit di timur akan menjadi terlihat terbit dari barat. Persis dengan prediksi Rasulullah yang mengatakan bahwa di hari kiamat kelak matahari bakal terbit dari barat.

Bukan hanya terjungkir balik, menurut ayat di atas, Bumi bakal berguncang-guncang dahsyat disebabkan oleh serbuan badai berbatu itu. Jika batu yang datang hanya berukuran kecil sampai sedang, efeknya tidak akan begitu terasa. Paling-paling bebatuan itu terbakar oleh Atmosfer bumi dan hangus sebagai meteorit. Tetapi, jika batu yang datang berukuran minimal berdiameter 1 kilometer, efeknya akan benar-benar menghancurkan. Apalagi jumlahnya banyak.

Ada lima efek catastrophic yang bakal terjadi. Yang pertama, batu raksasa itu akan memunculkan angin badai saat memasuki atmosfer Bumi. Ibaratnya kita naik sepeda motor berpapasan dengan bus yang melaju kencang, maka kita akan terkena hembusan angin kencang yang ditimbulkannya. Demikian pula jika ada batu raksasa memasuki atmosfer Bumi, akan terjadi turbulensi udara yang bukan main besarnya di sepanjang lintasan jatuhnya batu itu.

Saat batu datang, udara akan terdesak ke segala arah. Dan ketika batu sudah lewat, udara akan berbalik arah mengisi kekosongan di jalur yang dilintasinya. Maka, udara akan teraduk-aduk di sepanjang lintasan batu, sampai menghantam permukaan bumi. Dan, gedung-gedung yang berada di lintasan batu itu akan ambruk terkena turbulensi udara yang mengerikan.

Yang kedua, lintasan batu bukan hanya menghasilkan badai, melainkan juga membakar udara akibat gesekan kencang antara batu dengan atmosfer. Suhunya ribuan derajat di sepanjang lintasannya. Dan menghasilkan pemandangan seperti panah api raksasa yang melintasi langit. Celakanya, panah-panah api raksasa berdiameter di atas 1 km itu bergerak menuju ke permukaan bumi, menghajar kota-kota padat penduduk. Selain hancur karena angin badai, gedung-gedung dan seluruh isi kota itu bakal hangus terbakar oleh udara yang membara.

Yang ketiga, langit akan terlihat gelap sebagaimana diceritakan oleh Al Qur’an. Karena, bebatuan angkasa yang terbakar di langit itu meninggalkan abu yang bertebaran di sepanjang lintasan. Atmosfer Bumi akan diselimuti awan gelap, dan cahaya matahari tidak bisa masuk karena terhalang oleh partikel-partikel debu yang berhamburan dimana-mana.

Yang keempat, batu-batu raksasa itu bakal meluncur terus ke permukaan Bumi menjadi malapetaka yang tak terbayangkan. Jika jatuh di daratan, ia bakal menghasilkan gempa di atas 9 skala Richter. Permukaan kerak Bumi bakal bergetar dan menghasilkan gelombang permukaan tanah yang meruntuhkan bangunan-bangunan di atasnya. Mirip dengan riak gelombang air saat ada batu yang dicemplungkan ke kolam. Bedanya, ini bukan gelombang air, melainkan gelombang kerak Bumi.

Saking kerasnya tumbukan yang terjadi, batu itu diperkirakan akan amblas ke dalam perut Bumi. Dan mendesak kantong-kantong magma sehingga meluap lewat gunung-gunung berapi. Maka, di hari kiamat itu, sebagaimana digambarkan Al Qur’an, gunung-gunung berapi bakal meletus dimana-mana, memuntahkan isi perutnya.

Yang kelima, jika bebatuan itu jatuh di lautan, bakal menghasilkan Tsunami dengan gelombang setinggi puluhan meter. Gelombang Tsunami itu akan bergerak ke daratan dan menghajar pantai-pantai di seluruh dunia, menghapus kehidupan di sekitarnya..!

Pendek kata, kiamat Bumi adalah sebuah keniscayaan yang bakal terjadi. Suasananya diceritakan oleh Al Qur’an dengan sangat mengerikan. Bumi berguncang, lautan meluap-luap, langit gelap, batu-batu pijar berjatuhan dimana-mana, letusan gunung-gunung susul-menyusul, dan miliaran tubuh manusia terhambur ke angkasa seperti gerombolan serangga yang beterbangan.

Kenapa bisa begitu? Sesungguhnyalah planet Bumi ini ibarat pesawat ruang angkasa yang sedang melesat di awang-awang alam semesta. Kecepatan melintasi orbit revolusinya adalah sekitar 100.000 km/ jam. Penumpangnya sekitar 6,5 miliar manusia, berada di 'kabin yang terbuka'. Maka, bisakah Anda bayangkan jika kendaraan yang kita tumpangi ini bertabrakan dengan benda langit, sehingga berhenti 1 detik saja?

Efeknya, sama dengan sebuah truk yang membawa penumpang di bak terbuka, lantas menabrak pohon dengan kecepatan 100 km/ jam. Apa yang terjadi? Truk itu terhenti sesaat ketika menabrak pohon, dan penumpangnya akan mencelat ke angkasa dengan kecepatan 100 km/ jam. Jika itu terjadi pada planet Bumi, maka saat Bumi ini terhenti oleh tabrakannya dengan batu angkasa – 1 detik saja – seluruh penumpangnya akan terhambur ke angkasa dengan kecepatan yang bukan main kencangnya: 100.000 km/ jam..!

QS. Al Zalzalah (99): 1-3
Ketika Bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). Dan Bumi mengeluarkan benda-benda berat (isi perut)-nya. Dan manusia bertanya-tanya: ‘’Ada apa dengannya?’’

QS. Al Infithaar (82): 1-3
Apabila langit (atmosfer) terbelah-belah. Dan ketika bintang-bintang (batu pijar) berjatuhan di mana-mana. Dan bila lautan meluap-luap.

QS. Al Qaari’ah (101): 1-5
Hari Kiamat. Apakah hari Kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? (itulah) hari dimana manusia terhambur (ke angkasa) seperti serangga yang beterbangan. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu yang ditebar-tebarkan...

~ salam ~

Quote 4



“Does your home environment support you becoming rich? If the answer is no, then find new environment”

“Apakah lingkungan tempat tinggal Anda mendukung Anda menjadi kaya? Jika jawabannya tidak, maka carilah lingkungan yang baru”

SEMBILAN TAHUN, KETIKA GELOMBANG MENYISAKAN RIAK





Tadinya saya tidak ingin menulis tanggapan lagi tentang buku ‘ Ternyata Akhirat Tidak Kekal’ yang kontroversial itu. Karena, buku yang saya tulis di awal tahun 2004 itu sebenarnya sudah dibahas puluhan kali di berbagai forum yang saya hadiri. Dan, kini sudah cetak ulang sebanyak 23 kali, tersebar sampai keluar negeri.

Kontroversi yang dulu sebesar gelombang itu, kini memang sudah tinggal riak-riaknya saja. Karena, dalam berbagai forum yang sudah saya hadiri, akhirnya audiens bisa memahami buku itu setelah saya jelaskan secara panjang lebar. Sebenarnya, sebagian besar kontroversi itu disebabkan oleh mereka yang alergi terlebih dahulu terhadap judul buku, yang dianggap ‘menabrak keyakinan’ mereka selama ini.

Kalaupun sudah membaca isinya, biasanya mereka tidak membaca dengan hati yang jernih dan terbuka, melainkan sudah didahului oleh apriori. Sehingga yang terjadi bukan berusaha memahami pemikiran dan argumentasi yang tertuang dalam buku itu melainkan sekedar berusaha mencari perbedaan dan kesalahannya.

Setelah sembilan tahun buku itu beredar di kalangan luas, forum-forum kajian yang mengundang saya untuk membedah buku tersebut sudah jauh menurun. Meskipun, riak-riaknya masih bermunculan di sana-sini. Diantaranya, di dunia maya. Termasuk di forum kajian DTM ini. Saya pun lantas teringat, bahwa di dunia maya ini saya memang belum pernah memberikan klarifikasi secara komprehensif tentang isi buku itu. Sehingga, mungkin terkesan tidak tuntas dan sepotong-sepotong. Untuk itulah saya akhirnya memutuskan membuat tulisan serial berikut ini, mudah-mudahan bisa memberikan gambaran lebih holistik tentang pemikiran saya dalam buku tersebut.

Kontroversi tentang akhirat tidak kekal ini sebenarnya sudah muncul sejak buku belum terbit. Yakni, ketika saya belum menjadi penulis buku tapi sudah aktif memberikan materi kajian di sebuah masjid di dekat rumah saya, kawasan Surabaya Selatan. Di masjid yang terletak di kompleks perumahan itu saya kebagian mengisi materi di minggu kedua. Minggu pertamanya diisi oleh seorang doktor filsafat agama, dosen Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Minggu ketiganya juga oleh dosen IAIN Sunan Ampel, doktor tafsir lulusan Al Azhar. Dan minggu keempatnya diisi oleh ustadz dari kantor Depag Surabaya.

Seusai subuh, minggu kedua di tahun 2002 saya memberikan materi kajian yang kontroversial. Bahwa, menurut saya alam akhirat memang tidak kekal. Kesimpulan itu saya dapatkan setelah mengkaji sejumlah ayat di dalam Al Qur’an serta memahaminya dari sisi tauhid dan sains. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, dan makhluk tidak boleh disejajarkan dengan Allah Sang Maha Pencipta. Selain itu, sejumlah informasi tentang kekekalan akhirat, ternyata oleh Allah dikaitkan dengan keberadaan alam semesta yang mesti dibahas secara saintifik. Dan, sejumlah alasan lainnya yang detilnya akan saya uraikan dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Kajian kontrovesial itu, tentu saja menyulut diskusi yang seru. Dan tidak selesai dalam waktu 1,5 jam. Kemudian berbuntut sampai minggu ketiga, dimana pengisi materinya adalah ustadz yang lain, yakni dosen tafsir. Jamaah kajian itu, karena penasaran, menanyakan materi ‘Akhirat Tidak Kekal’ kepada sang dosen. Ia pun menjawab dari sudut pandangnya, bahwa menurutnya, Akhirat adalah kekal. Meskipun tidak sekekal Allah.

Jawabannya yang mengatakan akhirat ‘kekal tetapi tidak sekekal Allah’ itu tentu saja menjadi ‘umpan empuk’ bagi jamaah kajian yang sangat kritis. Karena, terkesan membingungkan dari sisi bahasa. Lha wong kekal kok ada prasyarat dan pembatasnya. ‘Kekal’ ya kekal saja, tanpa prasyarat. Tidak bergantung kepada sesuatu. Ada selama-lamanya.

Selain saya, di minggu ketiga itu kebetulan juga hadir dosen Ushuluddin yang biasanya mengisi materi di minggu lainnya. Diskusi pun menjadi sangat menarik, karena doktor Ushuluddin itu membahas materi tersebut dari sisi filsafat agama, dan berpendapat bahwa yang kekal itu memang hanya Allah saja. Selain Allah Yang Maha Kekal, sudah seharusnya tidak kekal. Meskipun Allah bisa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tapi pasti, makhluk tidak akan sama dengan Sang Khalik. Tidak ada istilah ‘kurang kekal’, ‘lebih kekal’, ‘semakin kekal’, atau ‘paling kekal’. Yang ada cuma: ‘kekal’ atau ‘tidak kekal’.

Diskusi berjalan lebih dari dua jam, belum juga selesai. Belum ada titik temu. Sampai sang doktor tafsir yang bertindak sebagai pengisi materi kajian itu menghentikan kajian secara sepihak di saat puncak pembahasan, dengan alasan ada acara lain yang harus dihadirinya. Keputusan itu, tentu saja menyulut ketidakpuasan dan protes jamaah. Karena, kesimpulan kajian menjadi menggantung...

Dua tahun kemudian, awal 2004 saya memutuskan menerbitkan materi tersebut sebagai buku serial ke-2 DTM, setelah ‘Pusaran Energi Ka’bah’ yang saya terbitkan di akhir tahun sebelumnya. Tentu saja suasana kontroversial muncul kembali. Bukan hanya di dalam masjid di mana kami biasa melakukan kajian, melainkan di masyarakat luas.

Kontroversi pertama muncul saat saya meminta kata pengantar ke KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, pengasuh pondok Raudhatut Thalibien dan sesepuh NU itu. Ketika saya sowan ke pondoknya di Rembang, saya di-test dalam sebuah diskusi yang panjang. Yakni, sejak sesudah Isya’ sampai tengah malam. Akhirnya Gus Mus merasa perlu untuk memberikan kata pengantar di buku itu.

Saya sangat mengapresiasi kata pengantar Gus Mus, yang memberikan ruang untuk berbeda pendapat dalam memahami ‘kekekalan Akhirat’. Beliau tahu bahwa pemikiran saya ini kontroversial, dan berbeda dengan mainstream. Tetapi demi pendewasaan umat yang selama ratusan tahun banyak yang taklid buta, Gus Mus memberikan kata pengantar yang bijak. Yakni tidak melakukan pemihakan secara tegas, namun menyodorkan kutub-kutub pemikiran yang ada dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Lantas, memberikan kesempatan kepada pembaca untuk merenungkannya. Jadi, di dalam sikap Gus Mus pun sudah muncul kontroversi.

Begitu buku ini saya luncurkan di Surabaya, Gus Mus memberikan dukungan dan berkenan untuk hadir memberikan ceramah pembuka, yang isinya kurang lebih sama dengan kata pengantar di dalam buku tersebut. Lantas, saya pun memberikan presentasi tentang ‘Akhirat Tidak Kekal’ selama kurang lebih dua jam. Diskusi berjalan gayeng dan penuh hikmah. Gus Mus hadir sampai akhir acara, bersama Zawawi Imran, Ratih Sanggarwati, dan ratusan jamaah.

Esoknya, berita peluncuran buku itu muncul di koran Jawa Pos dan sejumlah koran lainnya, memantik kontroversi lebih luas. Mulai dari lembaga-lembaga formal semacam MUI, perguruan tinggi dan para akademisi, sejumlah ormas Islam, sampai pada forum-forum kajian informal di masjid-masjid. Sejak saat itu, saya menerima berbagai undangan untuk melakukan klarifikasi atas tulisan saya.

Di berbagai forum kajian selalu muncul kontroversi: ada yang sependapat, ada yang tidak sependapat. Di MUI Jawa Timur maupun pusat, pendapatnya terbelah. Di sejumlah perguruan tinggi Islam di berbagai kota yang saya hadiri, pendapatnya pun berbeda-beda. Demikian pula di sejumlah pondok NU, forum kajian Muhammadiyah, Lembaga pendidikan Al Qur’an, dan forum diskusi di masjid-masjid besar. Puluhan forum sudah saya hadiri terkait dengan buku ini, Alhmadulillah yang tadinya seperti gelombang samudera, sekarang sudah tinggal riak-riaknya saja.

Bukan hanya dari segi jumlahnya, melainkan juga dari sisi kualitasnya. Dalam berbagai forum ‘pengadilan pemikiran’ itu, saya selalu disandingkan dengan pakar-pakar yang mengritisi buku saya tersebut. Bukan hanya satu pembanding, seringkali tiga sampai empat orang. Misalnya, yang terjadi di Pondok Baabussalam, Bandung. Keempat pembicara pembanding itu berasal dari background yang berbeda: seorang doktor Fisika, seorang lagi doktor Astronomi, yang ketiga adalah ahli tafsir, dan yang keempat adalah kiai pengasuh pondok itu.

Di Medan, materi ini dibahas oleh tiga orang pembanding: semuanya guru besar IAIN Sumatera Utara. Saat itu saya diundang oleh Bank Indonesia setempat dalam forum kajiannya. Demikian pula ketika di Banjarmasin, bahkan saya diminta memberikan pembahasan materi Eskatologi – rangkuman buku Akhirat Tidak Kekal dan Tak Ada Azab Kubur – di depan civitas akademika termasuk senat Guru Besar IAIN Antasari. Juga di sejumlah pondok salaf seperti pondok Tremas di Pacitan dan Nurul Jadid di Probolinggo; di Gresik, di Banyuwangi, Makassar, Tuban, Ponorogo, Balikpapan, Samarindah, Bontang, Jakarta, dan puluhan forum lagi yang saya tidak semuanya ingat. Bahkan di Makassar buku ini telah dijadikan tema sentral disertasi S-3, dimana guru besar yang menjadi promotornya sempat menjadi pembanding saat saya diminta bedah buku di kota Maros.

Ringkas kata, saya hanya ingin mengatakan bahwa materi ini memang memicu kontroversi pemikiran di hampir semua lini umat. Bahkan bukan hanya di kalangan umat Islam, karena tidak sedikit penganut agama lain yang memesan buku ini langsung ke penerbit. Termasuk juga ada seorang guru besar dari Singapura yang seorang orientalis datang ke rumah saya di Surabaya; serta seorang atheis yang ikut tertarik membahasnya di forum ini.. :)

~ salam ~