Friday, August 24, 2012

Tuhan Maha Lembut




“Wow! benarkah?” tanya Ubed.

Ubed mencoba terus mendengarkan Ivan bercerita. Sudah hampir satu jam Ivan bercerita panjang lebar. Ivan adalah teman yang baru ia kenal dua hari lalu. Ia bertemu pertama kali di rumah kosnya. Perbincangan itu terjadi saat Ivan berkunjung untuk kali kedua di tempat yang ia tinggali.

Dalam obrolan santai itu, Ivan selalu mendominasi. Namun Ubed mencoba mengontrol raut mukanya agar tetap terlihat biasa.

Sesekali Ubed menambahi cerita atau sekadar mengekspresikan ketakjubannya. Sebenarnya cerita Ivan sungguh membosankan baginya. Pembicaraan yang terlalu self-centric itu membuatnya muak. Memang bukan perkara yang aneh ada seseorang yang mendominasi dalam suatu obrolan. Mendominasi menunjukkan antusisme. Tapi jika  hanya itu yang dilakukan Ivan, tentu saja Ubed tidak akan merasa panas telinganya. Hal yang membuatnya harus meninggalkan percakapan itu adalah sikap Ivan yang terkesan menuturi atau menceramahi. Sehingga orang-orang disekelilingnya tampak bodoh.

Ubed mulai mencari cara untuk bisa keluar. Pandangannya menyapu benda-benda sekelilingnya. Ia berharap ada sesuatu yang bisa membantunya. Setelah menyisir meja yang ada di hadapannya, matanya terhenti pada benda berbentuk kotak kecil yang sudah sangat akrab dengan manusia. Ya, handphone memang alat yang reasonable untuk melepaskan kita dari situasi yang kurang mengenakkan. Bisa sekadar melihat jam, mengecek SMS masuk, pura-pura browsing,  atau berlagak seolah-olah  menerima telpon.
Ia pencet tombol merah yang berada di ujung kanan atas. Di sana terbaca pukul 16.00. 

Sambil senyum,

“Sorry, aku pamit dulu.” Kata Ubed.

Ivan dan yang lain mempersilakannya. Ia segera menuju kamarnya.

Sesaat ketika ia terpisah dari perbincangan itu, Ubed terdiam. Ia terpaku dalam duduknya. Nampaknya ia memikirkan sesuatu. Sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

“Astaghfirullah...” ucapnya.

Tiba-tiba ia merasa begitu bersalah.Ia membandingkan apa yang baru ia rasakan dengan teman-temannya. Ia mencoba memikirkan apa yang dirasakan teman-temannya ketika ia bercerita seperti Ivan. Barangkali orang lain merasakan seperti yang ia rasakan.

Tuhan memang maha lembut seperti salah satu namanya Al-latif. Dia kerapkali mengingatkan dengan cara-cara yang sangat halus. Hingga hal itu tidak akan disadari tanpa sedikit perenungan mendalam.

Ubed berfikir ini adalah teguran Allah kepadanya jika barangkali ia juga suka mendominasi, suka melebih-lebihkan cerita, dan sering membanggakan diri dalam bercerita.