Saturday, September 1, 2012

Dilema Buah Delima



Pagi begitu indah. Salah satu episode dalam rangkaian zaman yang terus menerus berputar, berpola, dan berulang-ulang dalam kontinuitas waktu. Pagi akan bertemu siang, siang akan berjumpa sore, sore akan berganti malam, dan malampun akan masuk ke dalam selimut pagi.


Di kala matahari muncul mengawali hari, nuansa terasa indah, sejuk, dan sahdu. Burung-burung, serangga, dan dedaunan yang tersapa angin turut menghiasi dengan fitrahnya.
Betapapun cerahnya gambaran alam itu, bukan berarti akan berlaku hal yang sama pada perasaan manusia yang melewatinya. Sebuah gejolak yang ada dalam hati tidak selalu bisa diselaraskan dengan suasana lingkungan.


Gemuruh dalam kesunyian, itulah fenomena dalam hatinya. Arif masih termenung. Pikirannya berlarian dalam tubuh diamnya. Matanya hanya menyorot sebatang pohon delima. Pohon yang buahnya sangat mengusik perasaan Arif.


Arif terus menerus memandanginya dengan bibir getir.


“Ambil saja buah itu, sangat mudah, dan nggak perlu usaha keras...”

“Jangan!!! itu bukan hak mu...”

“Bodoh kamu, tunggu apa lagi, mumpung pemiliknya nggak ada...”

“Jangan!!! Itu bukan hak mu...”


Sisi hitam dan putih hatinya terus berperang. Tubuh bocah usia sepuluh tahun itu hanya diam tak bergeming. Ia bak patung yang duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu.


Saat kemelut masih menyelimuti hatinya, ia dikagetkan oleh seorang kakek yang tiba-tiba muncul dari belakang.


“Assalamu’alaikum Nak...” Sapa sang kakek.

“Wa’alaikumsalam...” jawab Arif.


Belum selesai kebingungannya, perasaannya semakin runyam dengan kehadiran seorang kakek yang belum pernah ditemui sebelumnya.


Sang kakek kemudian duduk di bangku yang sebelumnya hanya ditempati Arif.


“Kakek lihat kamu tampak murung Nak...”

Arif hanya menjawabnya dengan helaan nafas panjang.


Ia tidak menginginkan sang kakek mengetahui keinginannya. Biarlah impian makan buah delima terkurung di lubuk tersempit hatinya.


“Jadi kamu ragu untuk mengatakannya ya Nak...” Ucap kakek.

Arif terdiam, ia mencuri pandang menatap wajah kakek yang berjenggot putih tersebut.


“Memang dalam hidup adakalanya harus menjalani episode yang unik, kita terkadang malu mengutarakan pada hal yang sebenarnya sangat kita harapkan.” Lanjut sang kakek.


Mereka terdiam sejenak.


“Dari tadi engkau memandangi buah delima setengah matang itu. Apa kamu menginginkannya?.” Tanya kakek.


Dengan segenap kekuatan batinnya Arif menganggukkan kepala.


“Aku sangat mengharapkan buah delima itu menjadi milikku Kek.” Kata Arif dengan wajah merunduk.


“Kenapa Nak?” Kejar kakek.


“Ada dorongan kuat di hatiku untuk menikmati buah itu.” Ungkap Arif.


“Hanya itukah alasanmu.”


“Maksud kakek?”


“Bukankah kamu pernah memakan buah serupa sebelumnya. Bahkan di pasar dekat tempat ibumu jualan banyak orang berjualan buah delima. Bahkan lebih besar dan lebih masak dari delima itu.”


“Tapi aku ingin sekali delima itu.” Rengek Arif sembari menunjuk buah delima yang menggantung indah di pohonnya.


“Buah itu milik pak Ahmad, jadi bukan hakmu untuk memetiknya”


“Tapi kek, beliau nggak akan marah kok, karena masih ada pohon delima yang lain yang juga sedang berbuah.”


“Apa kau yakin seperti itu?. Pak Ahmad dengan telaten menanam pohon itu dari kecil. Setiap hari beliau merawat dan menyiraminya. Lalu sekarang kamu hendak mengambilnya dengan cara yang tidak baik”


“Aku ingin memetiknya sekarang. Aku yakin beliau nggak akan marah.”


“Sabar dulu Nak, pak Ahmad akan lebih senang jika engkau memetiknya ketika sudah siap untuk dipetik.”


Arif masih belum bisa menerima nesihat sang kakek.


“Coba pertimbangkan, dampak buruk apa yang akan terjadi jika kau memetiknya sekarang. Pernah kau memikirkannya?”


Arif hanya menggeleng.


“Pertama pak Ahmad akan sedih dan menyayangkan akan tindakanmu itu. Karena sesuatu yang sangat ia sayangi kau ambil dengan cara yang tidak patut. Itu artinya engkau mendholimi orang lain. Padahal selama ini pak Ahmad banyak berbuat baik padamu dan mempercayaimu untuk bermain di kebunnya.”


“Kedua kau akan dirugikan dengan tindakanmu sendiri. Coba bayangkan jika kau memakan buah yang belum masak itu. Bisa jadi kau akan sakit. Ketika sakit sederet permasalahan akan timbul. Orang tuamu akan sedih, sekolahmu akan terbengkalai, adik-adikmu akan kehilangan teman untuk di ajak bermain, dan segala aktivitasmu akan terhenti. Semua amanah yang menjadi tanggung jawabmu tidak akan bisa kau laksanakan. Dengan demikian, kau tidak akan mempunyai prestasi dan pada akhirnya akan menenggelamkan masa depanmu sendiri.”


“Satu lagi, teman-temanmu dan orang-orang di sekitarmu akan menyesalkan tindakanmu. Disadari atau tidak kau jadi perhatian lingkunganmu Nak, karena kau dikenal sebagai anak yang baik. Apakah kamu mau mengecewakan semuanya?.”


Arif berkaca-kaca. Ditarik ujung bajunya untuk mengusap air mati yang mulai mengalir.


“Apa yang harus saya lakukan dengan keinginanku ini Kek?.” Tanya Arif.


“Sabarlah nak, bagaimanapun kondisi di hatimu, tetap gunakanlah akal sehat sebelum bertindak.”


“Janganlah khawatir, jika buah delima itu ditakdirkan menjadi milikmu. Kapanpun dan bagaimana alurnya pada akhirnya akan menjadi milikmu. Allah maha adil, kalau memang itu bukan milikmu. Pasti gantinya adalah yang terbaik untukmu dan untuk orang-orang sekitarmu”


“Anakku engkau masih sangat muda. Dan masih lugu. Namun bukan berarti setiap tindakannya tidak perlu ada pertimbangkan.”


“Biasakan berfikir jernih dengan hati bersih ketika akan memutuskan sesuatu. Persiapkan masa depanmu yang masih panjang. Jangan engkau korbankan masa depanmu dengan hal yang tidak tidak sepantasnya untuk dilakukan.”


Wajah Arif tampak lebih segar, senyum dibibirnya sudah mulai mengembang.


“Baik Kek, aku akan berusaha terus bersabar, dan membiasakan menggunakan pikiran sehat sebelum bertindak “


“Meskipun sekarang kamu sadar, bukan berarti kamu bebas godaan di waktu yang lain. Untuk itu teruslah berdo’a kepada Allah memohon agar dibimbing hati dan kehendak-kehendak yang muncul darinya.”


“Iya Kek, terima kasih banyak atas nasihat-nasihatnya.”


Terlihat buah delima dengan warna yang menarik masih menggantung indah di pohonnya. Keindahan ciptaan ilahi yang melengkapi pagi. Masih banyak perbendaharaan keindahan karunia Allah yang mengandung anugerah dan di sisi lain merupakan cobaan. Arif terus berharap agar keindahan-keindahan alam tidak memalingkan dirinya dan lupa dengan keindahan sejati penciptannya.