Friday, August 17, 2012

Tong Sampah Di Negeriku


“Prok...prok...prok...”
Suara langkah kaki mendekatiku. Harapanku tetaplah sama seperti sebelumnya. Berharap ada seseorang yang memasukkan sesuatu di dalam perutku. Hari-hariku kerap dipenuhi kenyarisan. Puluhan benda-benda sisa keperluan mereka hampir menjadi makananku. Namun seringkali tidak jadi.

Aku menunggu orang itu menghampiriku. Membuka topiku dan menjatuhkan bungkus makanan yang ia bawa ke dalam perutku.

Ah, ternyata masih sama. Orang yang terakhir melintas hanya melemparkan selembar plastik di bawahku. Aku heran dengan orang-orang sini. Aku dibuat oleh mereka untuk digunakan. Mereka mengecatku dengan warna yang indah dan tulisan-tulisan sebagai penanda di tubuhku. Mereka pun berharap kebersihan lingkungan dengan keberadaanku di sudut-sudut kota. Namun tidak berfungsinya diriku ibarat seonggok rongsokan yang terletak di tepi jalan.

Tubuhku mulai lemas. Terik matahari membagikan panas dengan diriku. Gelitikan angin berhembus tak mampu membuatku tersenyum.

Sudah beberapa hari ini perutku memang tak terisi. Setumpuk makanan hanya tergeletak beberapa centimeter saja di dekat kakiku. Andai aku punya tangan, kuraih benda tak berguna itu lalu kumasukkan lewat kepalaku. Atau jika kakiku bisa bergerak, aku akan lari menuju teman-temanku yang berada di negeri seberang. Dan aku tidak akan semenderita ini tentunya.

Terkadang aku iri dengan teman-temanku di negara-negara lain. Di Jepang, masyarakatnya begitu menyayangi benda-benda sepertiku. Mereka memanfaatkanya dengan sangat baik. Teman-temanku hidup teratur. Mereka bahkan mempunyai jadwal bervariasi setiap harinya.

Tidak hanya di negeri olahraga sumo itu berasal, kawan-kawanku  di Singapura pun turut bahagia. Masyarakat yang begitu memperhatikan lingkungan menjadikan fasilitas sepertiku tak pernah berpuasa. Teman di Amerika Serikat, kawan di negara-negara Eropa, dan sahabat di Selandia Baru tak akan merintih karena pembiaran seperti diriku. 

Apa sih bedanya diriku dengan mereka. Apakah hanya sekadar bentuk ataukah perkara tempat di mana kami diletakkan. Ataukah karena arogansi masyarakat dengan sikap acuh dan ketidakpedulian mereka terhadap bumi mereka sendiri. 

Aku hanya bisa menangis. Menangis bukan hanya kesedihan nasibku. Aku pun menangis juga karena rasa ibaku terhadap kebodohan orang-orang sekitarku.  Kelalaian mereka dengan lingkungan. Dan kebiasaan buruk mereka. Benda yang seharusnya mereka letakkan di dalam perutku tergeletak, berserakan, bahkan berenang bebas di sungai-sungai mereka. Mereka lupa bahwa bencana banjir siap mengancam diri dan keluarga mereka. 

Kecerobohan terhadap makanan-makananku adalah awal malapetaka bagi mereka.  
Coba bayangkan seberapa besar kerugian jika bencana itu terjadi. Rumah-rumah hanyut. Berbagai fasilitas umum rusak. Dan tak jarang nyawapun menjadi bayaran karena ulah mereka. 

Sebenarnya pemerintah di negeriku cukup peduli. Mereka mempunyai tim kebersihan. Truk-truk yang gagah pun mereka miliki. Area pembuangan akhir terbentang luas. Dan slogan-slogan himbauan yang tak kalah dengan calon legislatif terpajang di perempatan kota. Mereka masih bekerja. 

Namun slogan-slogan itu hanya omong kosong layaknya kebanyakan janji-janji para politikus di masa kampanye jika tiada gerak realisasi. Atau tidak akan maksimal jika hanya bergerak di satu sisi. Pemerintah dan masyarakat ibarat sepasang roda kendaraan. jika hanya satu roda bergerak, kendaraan tidak bisa jalan. Barangkali hanya bisa berputar-putar di tempat. Tidak ada progess. Dan kerap sia-sia. 

Aku masih termenung dalam kegelisahanku. Aku berdiri pucat di antara lalu lalang orang. Orang-orang tak peduli dengan kondisiku, bahkan kondisi mereka sendiri tak tahu. Tak sadar akan potensi yang mengancam mereka. 

Terpaan angin sesekali menggoyang-goyang tubuhku. Ia semakin bebas membuatku berayun-ayun. Barangkali ini kesempatan baginya untuk mempermainkanku. Tiada pemberat lagi di dalam tubuhku. Aku kesepian, kosong, lapar . Dan aku sekarat.