Tuesday, August 28, 2012

Fitrah Manusia




Cukup sering terdengar melalui telinga kita atau bahkan kerap kali terlontar dari lisan kita sendiri ketika hendak menjelaskan sesuatu maksud asal kejadian manusia, yakni kata fitrah. Fitrah juga banyak disebut-sebut kondisi dikala selesai menunaikan suatu amalan pembersihan diri (puasa, zakat) hingga menuju keadaan di mana seseorang terbebas dari tanggungan dosa yang telah dilakukan (kemenangan). Namun sebenarnya apakah fitrah itu?
Dalam kamus bahasa Indonesia fitrah didefinisikan sebagai keadaan yang masih asli atau suci. Pada intinya fitrah merupakan asal muasal kejadian dan merupakan citra alami manusia yang bersifat kodrati.

Semua manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik, bersikap santun, mempunyai rasa saling mengasihi, dan berperilaku positif lainnya, yang kesemuanya merupakan sikap ketaatan kepada Allah SWT. Di sisi lain potensi untuk berbuat buruk, ingkar, memberontak, dan sebagainya juga melekat pada diri manusia.

Firman Allah dalam surah Asy-syam ayat 8:

Faalhamaha fujuroha wataqwaha
”Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaannya.”
(QS. Asy-Syam : 8)

Kebaikan dan kejahatan merupakan fitrah yang dimiliki oleh masing-masing insan, dan sewaktu-waktu akan muncul salah satunya yang selanjutnya menjelma menjadi prilaku. Sehingga bisa dikatakan sebagai potensi relatif.

 
Ibarat sebuah kendaraan, kemudi ada di tangan kita. Kemanakah kendaraan tersebut diarahkan pengemudi yang menyetirnya. Sikap mana yang akan dipilih dari kedua kecenderungan (kejahatan dan ketaqwaan) kitalah yang punya andil besar dalam menentukannya. Karena di dalam tubuh manusia sudah dilengkapi dengan instrumen yang berwewenang menentukan pilihan saat menerima tawaran ilham. Interpretasi terhadap ilham itu yang nantinya akan menelurkan perbuatan baik atau buruk.

Rasulullah SAW bersabda :

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, rusaklah jasad seluruhnya. Ingatlah, itu adalah hati.
(HR. Bukhari & Muslim)

Kemanakah kita akan berjalan, hati yang akan mengarahkan, di manakah tempat yang akan dituju, otoritas pilihan juga ada di hati. Kehendak hati ini pula lah selanjutnya memerintahkan otak untuk berpikir metode manakah yang akan dijalankan untuk memenuhi kehendak hati tersebut. Sehingga berbuah perilaku yang dimaksudkan.

Vitalnya peran hati memaksa manusia untuk benar-benar mengarahkan kehendak yang akan muncul. Sepintas terlihat agak sulit memang tetapi harus dipaksakan, besarnya dampak yang akan terjadi itulah, keteguhan mengelola hati menjadi sebuah keharusan. Uniknya, kita yang mempunyai hati, namun sering kali tidak mengerti maksud dan keinginan yang terlintas serta fenomena-fenomena yang bergejolak di dalamnya.

Firman Allah di dalam Al-Qur’an :

”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar Ra’d : 28)

Dzikir (ingat) kepada Allah menjadikan kita mendapat bimbingan dan pencerahan dari dzat yang maha pemberi petunjuk. Selain itu dzikir yang berupa tafakur akan semakin mengarahkan kita pada jalur ketaqwaan.

Seperti firman Allah dalam surah Ali Imron ayat 190-191 :

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ya tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; maha suci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka.”
(QS. Ali Imron : 190-191)

Dengan berdzikir berarti menumbuhkembangakan pilihan dalam ketaqwaan yang pada akhirnya menghasilkan amal shalih.

Demikian manusia dengan segala keunikannya, kekurangannya, dan potensi-potensinya dalam kebaikan maupun keburukannya. Setiap orang berharap agar menjadi lebih baik dalam sikap dan perilakunya, masing-masing manusia mendambakan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Keinginan-keinginan tersebut tentu saja harus sinergis dengan jalan hidup yang ditempuh, beserta dengan konsekuensi-konsekuensi yang harus dijalankan pada setiap pilihannya. 

Oleh karena itu, menjalani fitrah sebagai manusia yang dalam hatinya tak jarang dihadapkan pada polemik dan persoalan dilematis, kita yang merupakan manusia lemah, maka hendaknya senantiasa memohon bimbingan dan petunjuk dari sang penguasa hati sesungguhnya, Allah SWT. 

Wallahu a'lam bi showab.