Monday, January 28, 2013

Pandangan Al-Ghazali Terhadap Ekonomi


Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada umumnya. Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.

Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.

Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Reading in Islamic Economic Thought memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan tokoh lainnya. Pada fase kedua ini wacana pemikiran ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas.

Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.

Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.

Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.

Oleh karena itu, agar pandangan keuangan Al-Ghazali tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan dia untuk kemudian dikaji dalam perspektif sistem ekonomi Islam.

Konsep uang
Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.

Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.

Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya sebagai standar harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.

Pertama, larangan menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.

Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.

Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa antara jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.

Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang beredar dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.

Kedua, problematika riba. Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Secara eksplisit larangan riba terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 275, 278-279, Ar- Rum 29, An-Nisa’ 160-161, dan Ali Imran 130. Alasan mendasar Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.

Ketiga, jual beli mata uang. Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, Al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.

Demikian sekelumit pandangan keuangan Al-Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami. Meskipun demikian untuk menjadi konsep yang mapan dan sempurna, pemikiran keuangan Al-Ghazali yang masih berserakan tersebut memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang secara sistematis dan logis.

Faizi, Mahasiswa Keuangan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Republika Online

ALAM SEMESTA PUN BEREVOLUSI DI DALAM SUNNATULLAH




Alam semesta dengan segala isinya ini tidak muncul tiba-tiba. Ia mengalami proses bertahap selama miliaran tahun, sehingga menjadi seperti sekarang. Dan itu bukan hanya terjadi pada makhluk hidup (biologi) saja, melainkan di seluruh penjuru alam semesta. Semuanya melewati proses evolusi..!

Virus dan kuman berevolusi. Ikan-ikan berevolusi. Ular, kadal dan reptil-reptil berevolusi. Demikian pula berbagai binatang buas, binatang ternak, burung, dan segala macam jenis hewan lainnya, serta manusia. Tapi, jangan salah, Bumi dan planet-planet pun mengalami evolusi. Atmosfernya berevolusi, daratan dan lautan berevolusi. Gunung-gunung, bebatuan, tambang-tambang minyak, batubara, emas, tembaga, nikel, uranium, dan sebagainya mereka semua mengalami evolusi selama berjuta-juta tahun. Bahkan bumi sudah berevolusi sekitar 5 miliar tahun.

Termasuk juga tatasurya kita ini berevolusi. Mataharinya juga. Pun bintang-bintang di angkasa raya. Galaksi-galaksi, super kluster, dan seluruh isi alam semesta ini sedang mengalami evolusi selama lebih dari 13 miliar tahun. Begitulah memang mekanisme alam, yang di dalam Islam dikenal sebagai sunnatullah.

Bentuk bumi, planet-planet, bintang, galaksi, dan berbagai benda langit, miliaran tahun yang lalu tidak seperti yang kita lihat sekarang. Demikian pula, miliaran tahun mendatang, tidak juga seperti sekarang. Semuanya sedang berubah secara bertahap lewat ‘seleksi alam’…

Wah, jadi ada ‘seleksi alam’ kah di seluruh penjuru jagad semesta ini? Bukan hanya untuk makhluk hidup to? Jawabnya lugas: jelas ADA. Tentu saja bagi yang mau berpikir terbuka. Dan mau menyaksikan perubahan yang sedang terjadi di seluruh jagad raya. Semua benda sedang berubah menuju bentuk, tatanan, bahkan fungsi yang berbeda seiring dengan perjalanan waktu. Hanya saja, peristiwa-peristiwa makrokosmos memang terjadi dalam skala miliaran tahun. Sehingga seakan-akan tidak terjadi perubahan berarti dalam kurun usia seorang manusia.

‘Seleksi alam’ adalah hukum alam yang inheren dalam eksistensi universe dengan segala isinya. Siapa atau apa saja, yang  bisa bertahan terhadap seleksi alam bakal bisa meneruskan drama ‘kehidupannya’. Sebaliknya yang tak mampu bertahan, bakal ‘mati’ dan musnah. Binatang, tumbuhan, dan manusia sebagai makhluk hidup, terkena seleksi alam itu. Dan planet, bulan, matahari, serta bintang-bintang pun terkena seleksi alam. Ada yang tetap berada di dalam tatanannya. Ada yang mencelat dari orbitnya. Ada yang meledak menjadi supernova, dan ada juga yang kesedot lenyap ke dalam black hole.

Bahkan dalam skala miliaran tahun sejarah universe, kita ‘menyaksikan’ evolusi telah dan sedang terjadi, mulai dari skala mikrokosmos sampai ke makrokosmos. Mulai dari quark, partikel-partikel sub atomic, atom, molekul, sampai munculnya benda-benda raksasa yang mengisi ruang jagad raya. Awalnya alam semesta hanya berupa ‘lautan energi’ sop kosmos, yang kemudian meledak dan mengembang, sehingga menghasilkan partikel-partikel, disusul terbentuknya atom berinti sederhana – proton tunggal – yang kita kenal sebagai Hidrogen. Lantas, muncullah atom berinti proton & neutron ganda seperti Helium, meningkat lagi menjadi Berelium, dan seterusnya. Sehingga, sekarang di alam semesta ada lebih dari seratus jenis atom, dengan intinya berisi ratusan proton dan neutron. Begitulah evolusi yang terjadi di lingkungan benda mati.

‘Seleksi alam’ pula yang menyebabkan partikel-partikel bebas itu bergabung menjadi atom, menjadi molekul, menjadi gas, padatan atau pun cairan, dan kemudian bergerombol membentuk planet, tatasurya, galaksi, dan sebagainya. Ringkas kata, saya hanya ingin meluruskan pendapat yang mengatakan bahwa seleksi alam dan evolusi hanya terjadi pada makhluk hidup alias ranah biologi saja.

Evolusi dan seleksi alam adalah hukum alam yang sudah menyatu di seluruh penjuru jagad semesta. Mikorokosmos maupun makrokosmos. Biologi maupun non biologi. Bahkan termasuk peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Ini adalah mekanisme dasar ‘drama kehidupan’ alam semesta.

Masalahnya, dalam konteks ‘ketuhanan’ yang sedang kita bicarakan ini adalah: apakah seleksi alam itu berlangsung secara ‘sengaja’ atau ‘tidak sengaja’? Ada yang ‘mengendalikan’ ataukah berjalan secara ‘liar’? Ada ‘kecerdasan’ yang terlibat di dalamnya ataukah ‘menggelinding’ begitu saja?

Menjadi agak lucu juga, ketika seleksi alam disebut sebagai ‘alternative ketiga’ dari pilihan: by accident ataukah by design. Kebetulan ataukan diciptakan. Karena yang ditanyakan itu justru adalah tentang ‘seleksi alam’ itu sendiri.Ketika ditanyakan: mekanisme seleksi alam tersebut terjadi sengaja ataukah tidak sengaja? Dijawab: ya, terjadi lewat seleksi alam. Lha iya, ada yang mengendalikan atau tidak? Jawabnya: ya, terjadi melalui seleksi alam. Walahh, susah amat sih berkomunikasinya… :(

Padahal dengan sangat sederhana bisa dijawab. Misalnya, kalau memang mau ‘menghindari’ jawaban bahwa seleksi alam itu bukan atas ‘campur tangan Tuhan’ (karena memang atheis), ia bisa menjawab: semua itu terjadi ‘dengan sendirinya’, tidak ada yang mengendalikan, dan bukan kebetulan, serta tidak ada kecerdasan apa pun yang terlibat di dalam proses itu. Pokoknya, ya terjadi begitu saja… ;)

Maka, marilah kita runtutkan cara berpikir kita dengan jernih. Yang pertama, pahamilah dulu bahwa alam semesta ini memiliki hukum termodinamika yang menjelaskan adanya implikasi entropi. Bahwa alam semesta ini sudah terbukti menuju pada proses kerusakan dan kekacauan yang semakin tinggi.

Benda-benda langit semakin hari semakin tua, dan kemudian akan mati pada waktunya. Bumi juga semakin lama semakin tua, dan kelak pun bakal mati sebagaimana benda-benda langit lainnya. Isi bumi ini, termasuk manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan juga semakin lama semakin tua dan kemudian mati. Maka, menurut hukum termodinamika kedua, untuk mempertahankan agar semua itu tidak segera mati, harus ada energi ataupun usaha yang dimasukkan ke dalam sistem, sehingga mengkompensasi entropi yang terus meningkat.

Misal, agar mesin mobil tidak segera mati, ya harus diberi bensin. Agar manusia tidak segera mati, mesti dimasuki makanan, minuman, dan oksigen. Agar buah tidak membusuk, haruslah diawetkan. Agar dunia tidak tenggelam oleh sampah, ya harus dibersihkan. Agar kita menjadi pintar, ya harus belajar. Agar hidup kita sukses, ya harus ada usaha dan perjuangan. Dan seterusnya. Dan lain sebagainya. Itulah hukum entropi alam semesta yang berlaku pada makhluk hidup maupun benda mati. Sebuah hukum yang bersifat universal..!

Maka bagaimana bisa ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa seleksi alam bisa berjalan dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari luar sistem? Tanpa ada bensin yang dimasukkan ke mesin mobil, tanpa ada makanan dan oksigen yang kita konsumsi, tanpa ada usaha dan pembelajaran..?! Ini sungguh-sungguh menyalahi hukum alam yang paling dasar.

Alam semesta ini tidak akan bisa bertahan selama miliaran tahun seperti ini, jika tidak ada  CAMPUR TANGAN dari luar sistem. ‘Usaha’ yang berasal dari luar jagad raya itu sendiri. Energi yang tidak berasal dari dalam ruang, waktu, materi & energi universe. Siapa saja yang menganggap alam semesta bisa berjalan dengan sendirinya, ia telah menabrak hukum ilmiah yang paling dasar. Dengan kata lain, ia mulai berpikir dengan cara meninggalkan kaidah-kaidah saintifik.

Jika alam semesta tidak memperoleh tambahan ‘usaha’ atau energi dari luar sistem, alam ini sudah runtuh dan hancur lebur sejak ledakan pertama: big bang. Dalam alam yang entropinya meningkat seperti alam kita ini, ledakan tidak pernah menghasilkan suatu ‘sistem yang tertata’ seperti jagad raya sekarang. Dimana partikel-partikel sub atomik berangsur-angsur menjadi atom, dan atom-atom menjadi molekul dengan keseimbangan gaya yang luar biasa. Lantas berangsur-angsur menjadi unsur-unsur alam semesta penyusun benda-benda langit dalam skala maha raksasa. Dan kemudian memunculkan gaya nuklir kuat, nuklir lemah, elektromagnetik, serta gravitasi secara berurutan. Sebuah LEDAKAN selalu menghasikan kerusakan dan KEKACAUAN. Lha ini kok malah menghasilkan KETERATURAN..!

Kenapa semua ini bisa terbentuk sedemikian harmonisnya? Karena ada FAKTOR dari luar sistem yang memasukkan ‘usaha’ sebagai bentuk campur tangan agar hukum entropi tidak menghancurkannya. Siapakah DIA? Itulah yang oleh orang-orang atheis disebut sebagai FAKTOR X. Dan kita, umat Islam menyebut-Nya sebagai Allah Azza Wajalla..! Zat yang Maha Cerdas, Maha Berkuasa, dan Maha Bijaksana.

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Infithaar (82): 6-8
Hai manusia, apakah yang telah memperdayakanmu (sehingga kamu mengingkari) Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (struktur tubuh)-mu seimbang, dalam kecanggihan bentuk yang Dia kehendaki, Dia telah menyusun tubuhmu.

Allah yang Maha Sempurna telah menciptakan mekanisme hukum alam yang sangat menakjubkan. Kecelakaan, kematian dan kehancuran, bukanlah tanda tidak sempurnanya desain penciptaan universe, tetapi justru menunjukkan betapa sempurnanya sunnatullah yang telah menyeimbangkan antara hukum entropi dengan keniscayaan adanya campur tangan Sang Maha Perkasa. (Bersambung… )

~ Salam Beragama dengan Akal Sehat ~