Sunday, February 3, 2013

MELIHAT LEBIH DEKAT (2)



oleh Agus Mustofa 
·
~ DILARANG SYIRIK, DIPERINTAH SYIAR ~

Perbuatan yang paling ‘dibenci’ Allah adalah syirik alias menyekutukan Allah dengan Tuhan lain. Dalam Al Qur’an perbuatan syirik disebut sebagai dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah. Kecuali, pelakunya bertaubat dan kemudian hanya bertuhan kepada Allah saja.

Maka, orang-orang musyrik yang dulu menyembah berhala di zaman jahiliyah pun, ketika kemudian bertuhan kepada Allah, mereka memperoleh ampunan dari Sang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Artinya, tidak diampuninya dosa syirik itu adalah ketika seseorang masih terus melakukan atau sedang menjalankannya. Jika sudah tidak lagi, tentu saja akan diampuni-Nya, karena Dia adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

QS. Al Furqaan (25): 70
kecuali orang-orang yang bertaubat (dari kemusyrikannya), beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS. Al Israa’ (17): 25
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.

Pada hakekatnya, seluruh proses keberagamaan seorang manusia adalah beranjak dari musyrik menuju muslim. Musyrik itu menyekutukan Allah, sedangkan muslim adalah berserah diri hanya kepada-Nya. Persis seperti yang diucapkan oleh nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama Islam, yang kemudian kita abadikan dalam shalat.

QS. Al An’aam (6): 103
Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama muslim (berserah diri kepada Allah)".

Bentuk kemusryikan sungguh sangat beragam. Ada yang musyrik dengan cara menyembah patung berhala. Ada  yang musyrik dengan menjadikan manusia dan malaikat sebagai bagian dari unsur ketuhanan. Ada yang musyrik dengan menjadikan harta benda, kekuasaan, dan segala kepentingannya sebagai ‘tuhan-tuhan’ yang tak dinamainya tuhan, tetapi pada prakteknya dia telah bertuhan kepada segala macam selain Allah itu.

Setiap kita sebenarnya memiliki kadar kemusyrikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Dan itu tidak akan diampuni-Nya ketika kita tidak segera beranjak menuju muslim sejati. Cobalah tanyakan pada diri sendiri: sudahkah Anda benar-benar terbebas dari kemusyrikan? Dan sudah bisa berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menjalani hidup ini? Dalam suka maupun duka?

Ketika harta benda Anda ludes dimakan api misalnya, dan seluruh tabungan di bank lenyap karena banknya bangkrut, gemetarkah Anda? Putus harapankah Anda? Ataukah bisa bertawakal dan berserah diri kepada-Nya?

Ketika orang yang sangat Anda cintai, tiba-tiba pergi meninggalkan Anda untuk selamanya, lemaskah persendian tubuh Anda, larut dalam kesedihan yang mendalam dan putus asa? Ataukah bisa bersabar dan bersandar kepada-Nya?

Ketika segala fasilitas dan kenyamanan yang Anda nikmati sekarang tiba-tiba runtuh, merasa habiskah Anda? Ataukah, masih bisa terus tersenyum sambil bekerja keras kembali di jalan Allah, Sang Pemurah..?

Jawabannya akan menggambarkan seberapa besar tingkat kemusyrikan kita kepada Allah. Semakin merasa kehilangan atas segala sesuatu itu, maka semakin besar rasa kebergantungan kita kepada ’tuhan’ selain Allah. Semakin musyriklah kita. Sebaliknya, semakin tawakal dan sabar dalam menghadapi segala permainan hidup ini, semakin besar pula keyakinan kita kepada-Nya, insya Allah telah bertauhid secara lebih sempurna. Berarti, kita telah berhasil menerapkan makna laa ilaaha illallaah dalam hidup, bahwa ’’tiada sesuatu pun yang layak dijadikan sebagai tempat bergantung, kecuali Allah...’’

Insya Allah kita semua sudah paham dengan substansi tauhid. Bahwa kita dilarang melakukan kemusyrikan dalam bentuk apa pun, sekecil apa pun, karena yang demikian itu bisa mengotori penghambaan kita kepada Allah.

Akan tetapi perintah bertauhid atau larangan syirik ini tidak berdiri sendiri. Allah juga memerintahkan kita untuk melakukan syiar. Dua hal ini ~ bertauhid dan bersyiar ~ bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang yang sama. Seluruh nabi dan utusan Allah perintah utamanya hanya dua, yakni: ’’ajak manusia untuk bertauhid, dengan cara syiar yang baik...’’. Keduanya dilakukan dalam ’satu tarikan nafas’.

Lantas siapakah yang harus kita syiari? Apakah umat Islam saja? Ataukah seluruh umat manusia? Dengan mudah kita bisa mengetahui jawabannya, dari pertanyaan ini: untuk siapakah al Qur’an diturunkan dan untuk siapakah Nabi Muhammad diutus? Apakah untuk umat Islam saja, ataukah untuk seluruh manusia? Juga, untuk siapakah misi rahmatan lil alamin ini diwahyukan? Untuk umat Islam saja ataukah untuk seluruh manusia?

QS. An Nisaa’ (4): 174
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).

QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Ternyata, Allah menjawab dengan sangat gamblang di dalam firman-firman-Nya, bahwa misi Rasulullah dan Al Qur’an adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Bahkan seluruh alam. Berarti, Islam harus disyiarkan kepada siapa saja. Bukan hanya kepada umat Islam. Justru yang belum Islam. Yang belum berserah diri kepada Allah. Yang belum bertuhan kepada-Nya. Yang belum mengakui Tuhan sesungguhnya, Sang Penguasa alam semesta.

Lantas bagaimana caranya? Apakah dengan cara memusuhi mereka yang belum Islam? Apakah harus membuat gap psikologis yang tidak perlu? Apakah dengan menjelek-jelekkan siapa saja yang belum bertuhan kepada Allah? Apakah dengan menjauhi mereka?

Ataukah sebaliknya? Dengan menunjukkan kehangatan dalam persahabatan. Dengan menunjukkan kepemaafan. Dengan menunjukkan sifat suka menolong dan berbuat kebajikan. Dengan memberikan teladan yang baik dalam kehidupan. Dengan argumentasi-argumentasi yang masuk akal dan bisa diterima semua pihak secara terbuka.

Sungguh akan menjadi ’sangat aneh’, kalau kita ingin syiar tapi sambil terus membuat gap psikologis, membangun sikap permusuhan, dan menjauhi orang-orang yang ingin kita syiari...(?)

Bukankah, Rasulullah pun malah mendoakan orang-orang musyrik agar mereka menjadi muslim? Dan doa Rasulullah itu dikabulkan Allah. Maka, Umar bin Khaththab dan Hamzah yang tokoh musyrikin Quraisy pun masuk Islam. Bahkan menjadi pahlawan Islam yang luar biasa tangguhnya.

Larangan berdoa untuk kaum musyrikin itu adalah memohonkan ampunan, saat mereka masih berbuat kemusyrikan. Ya tentu saja. Lha wong mereka tidak bertuhan kepada Allah, kok dimintakan ampun kepada Allah. Musy ma’ul kata orang Mesir, alias nggak masuk akal. Tentu saja Allah tidak akan mengampuninya, karena mereka kan memang tidak bertuhan kepada-Nya? Maka kita menjadi paham, ketika Allah mengingatkan para nabi yang karena kelembutannya masih memohonkan ampunan buat mereka. Yakni, Nabi Ibrahim terhadap ayahnya, Nabi Nuh terhadap anaknya, dan nabi Muhammad terhadap pamannya.

Akan tetapi, bagi para penyembah berhala yang sudah menjalankan Tauhid dengan sebenar-benarnya ~ hanya bertuhan kepada Allah ~ sungguh ampunan Allah  sedang menunggu mereka di depan pintu surga...

Maka, dalam konteks ini marilah kita tebarkan semangat rahmatan lil alamin setulus-tulusnya bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya kepada saudara-saudara kita yang muslim. Melainkan juga kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabat kita yang belum Islam. Seluruh umat manusia. Sambil terus berdoa kepada Allah mudah-mudahan umat akhir zaman ini mendapat petunjuk dari Allah Sang Maha Bijaksana untuk bertuhan hanya kepada Sang Penguasa sejati: Allah azza wajalla...

Bisa kan, kita menyiarkan agama rahmatan lil alamin ini tanpa harus mengorbankan ketauhidan? Kecuali, kalau kita belum yakin betul siapa Tuhan sejati Penguasa Jagat Raya yang hebat ini ... :)

QS. Al Hajj (22): 67
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan denganmu dalam urusan ini. Dan serulah mereka kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.

QS. Asy Syuura (42): 15
Maka dari itu, serulah (mereka ke jalan Allah) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) bakal kembali"

QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~