Saturday, February 9, 2013

MELIHAT LEBIH DEKAT (5)




~ PANCA INDERA & BLACK BOX BERNAMA OTAK ~

Otak adalah organ manusia yang paling canggih, yang sampai sekarang belum ’dikenal’ secara detil mekanisme kerjanya. Sehingga, salah seorang kakak saya yang dokter saraf pun menyebutnya sebagai ’black-box’. Sebuah ’kotak-hitam’ yang begitu misterius. Terutama jika dikaitkan dengan fungsi jiwa yang berada di ’baliknya’.

Suatu kali saya berdiskusi dengannya panjang lebar. Dan saya tanyakan, bagaimanakah proses yang terjadi di dalam otak, sehingga sebuah ’kehendak’ yang begitu abstrak bisa berubah menjadi sinyal listrik yang ditransfer ke organ-organ tubuh sebagai sebuah perintah untuk bergerak, misalnya. Jawaban yang saya terima hanya ’gelengan kepala’.

Saya tanya lagi, ketika seseorang melihat suatu pemandangan yang indah lewat matanya, dan kemudian pemandangan itu diterjemahkan oleh retina menjadi sinyal-sinyal listrik yang diteruskan ke pusat penglihatan di otak. Sebenarnya apakah yang sedang terjadi? Kenapa manusia bisa men-translate sinyal-sinyal itu menjadi sebuah ’rasa keindahan’? Apakah bentuk rasa keindahan itu? Dia bukan materi, dia bukan energi, melainkan ’persepsi’. Siapakah yang ’merasakan’ persepsi keindahan itu di dalam otak? Bukankah ’otak robot’ secanggih apa pun tidak pernah bisa ’merasakan’ keindahan?

Bukan hanya mata, tetapi juga merdunya  suara, semerbak harum aroma bunga, rasa asin manis dalam sebuah selera, dan kasar halus atau panas dinginnya cuaca. Bukankah semua itu sekedar sinyal-sinyal listrik yang dihantarkan susunan saraf sensorik ke otak belaka? Dan kemudian diubah menjadi sebuah image yang bisa ’dipersepsi’?

Kakak saya yang dokter saraf itu pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia kemudian mengatakan begini. Dunia luar dan alam jiwa itu memiliki perbatasan di otak. Apa yang ada di ’dunia luar’ dan di ’alam jiwa’ sama sekali berbeda. Otak menjadi semacam interface alias ‘alat penerjemah’ dari alam dunia ke alam jiwa. Mirip sebuah kotak hitam yang ajaib.

Sinyal-sinyal listrik yang berasal dari dunia luar jika masuk kepadanya akan diubah menjadi sebuah persepsi yang abstrak. Seperti rasa keindahan, kesedihan, kebahagiaan, keinginan, ketentraman, semangat, putus asa, rindu, dendam, iri, dengki, yakin, ingkar, dan sebagainya, yang itu bukan berbentuk materi atau energi. Melainkan ’persepsi’ alias ’perasaan’ yang sangat abstrak. Dalam istilah kedokteran jiwa disebut sebagai ’fungsi luhur’.

Sebaliknya, jika perasaan jiwa yang sangat abstrak itu kembali melewati otak, maka ia akan diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang kemudian diurai menjadi zat-zat neurotransmitter yang bersifat material dan memiliki energi mekanik, sehingga bisa menjadi sebuah perintah untuk bergerak atau menghasilkan aktivitas motorik pada organ tubuh kita. Lha, kok bisa sesuatu yang ’abstrak’ diubah menjadi materi / energi yang terukur, dan sebaliknya? Bagaimana mekanismenya? Sekali lagi, belum ada ilmuan yang bisa menjawabnya dengan tuntas.

Jawaban yang muncul adalah: ’pokoknya’, kalau ada sinyal listrik masuk ke otak melalui saraf-saraf sensorik, otak akan mengubahnya menjadi ’persepsi jiwa’ yang abstrak. Sebaliknya jika ada persepsi jiwa yang melewati otak, maka ia akan diubah menjadi sinyal-sinyal listrik berupa energi mekanik yang kemudian menjalar pada saraf-saraf motorik.

Jadi, jiwa tak pernah bersinggungan langsung dengan dunia luar. Ia ’melihat’ alam dunia lewat sebuah jendela bernama ’Otak’. Jika si manusia tidak punya otak, maka sang jiwa pun tidak punya jendela untuk ’melihat’ alam dunia. ’Jendela’ berupa otak itu memiliki kepanjangan tangan, yakni: enam indera. Yang lima adalah mata, telinga, hidung, lidah & kulit. Sedangkan yang keenam adalah sebuah sistem medan elektromagnetik yang membentuk poros antara otak-jantung.

Yang lima indera bekerja secara elektromagnetik lewat sistem saraf dengan memanfaatkan sifat konduksi kelistrikan. Sedangkan yang keenam bekerja secara radiasi medan elektromagnetik. Kecepatan rambat listrik dalam sistem saraf manusia adalah sekitar 120 meter/ detik. Sedangkan radiasinya jauh berlipat kali lebih cepat, bergantung pada seberapa tinggi frekuensi ataupun panjang gelombang yang terpancar.

Pada mekanisme pancaindera, otak akan menghasilkan zat-zat neurotransmitter yang menjadi perantara antara otak dengan ujung saraf-saraf tepi. Baik yang masuk ke otak maupun yang berasal dari otak. Sedangkan pada mekanisme radiasi indera keenam, bertumpu pada getaran gelombang beta (>13 Hz), alfa (8-13 Hz), teta (4-8 Hz) dan delta (< 4 Hz). Serta variasi sinyal informasi yang menumpanginya.

Maka kalau kita perhatikan sungguh sangatlah menakjubkan, organ yang bernama otak itu. Seluruh aktifitas manusia – tubuh dan jiwa – dikendalikan secara sinergis disini. Keseimbangan antara dunia luar dan dunia dalam semuanya bertumpu disini. Dan menariknya, otak tidak memiliki pusat kendali. Karena, semua sel otak yang berjumlah sekitar 100 miliar itu memiliki peran sentral. Jika rusak satu, maka fungsi otak itu pun bakal menurun. Sebaliknya, jika sel-selnya berkembang sehingga membentuk sirkuit-sirkuit yan lebih tebal dan meluas, otak tersebut akan meningkat performanya.

Sebagai misal, jika otak dilatih untuk mengingat secara terus menerus, maka sel-sel yang terkait dengan memorinya akan berkembang. Ukurannya menjadi lebih besar, ’kabel-kabel’ sarafnya menebal, jumlah selnya bertambah banyak, dan kemudian membentuk sirkuit saraf memori yang hebat. Orang tersebut menjadi memiliki ingatan yang tajam. Sebaliknya, jika ingatan kita tidak pernah dilatih, maka sel-selnya akan melemah, menyusut, dan kemudian sirkuitnya mengecil. Mirip dengan otot yang dilatih fitness dan tidak. Semakin lama dilatih, semakin kuat untuk digunakan mengangkat beban berat.

Demikian pula kemampuan analisa, kemampuan berlogika, kemampuan menahan emosi, dan kemarahan, mengendalikan kesabaran, dan berbagai sifat-sifat kebaikan, semua itu akan melatih ’otot-otot’ dalam otak kita supaya menjadi lebih handal. Tentu saja, butuh waktu untuk membuatnya hebat. Semakin hebat kemampuan otak seseorang, maka semakin besar pula volumenya.

Dan karena ukuran tempurung kepala kita relatif tetap, maka perkembangan otak itu akan membentuk lipatan-lipatan di permukaannya. Semakin banyak lipatannya, menunjukkan otak tersebut semakin cerdas dan sering dipakai. Sebaliknya, semakin sedikit lipatannya, semakin kurang cerdas karena jarang dipakai. Jadi salah besar kalau kita ’menyayangi’ otak kita dengan cara jarang-jarang memakainya. Konon, otak orang Indonesia banyak yang masih mulus permukaannya dan tidak banyak lipatannya, karena terlalu ’disayang-sayang’ pemakaiannya...! :(

Nah, maka dalam konteks yang sedang kita bicarakan ini, indera kita adalah jendela bagi jiwa untuk memahami dunia. Pusat imaging-nya ada di otak. Dan ’pemirsanya’ ada di balik otak. Allah menciptakan indera kita itu agar kita bisa memahami alam semesta yang diciptakan-Nya. Yang tanpanya kita tidak akan mengerti apa-apa. Persis seperti yang Dia ungkapkan di dalam firman-firman-Nya.

QS. An Nahl (16): 78
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (indera keenam) agar kamu bersyukur.

QS. Al An’aam (6): 46
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?" Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap tidak memperhatikannya.

Ya, apakah jadinya kalau Allah mencabut kemampuan indera kita, termasuk hati sebagai indera keenam untuk memahami? Maka, kita akan seperti disekap di dalam sebuah ruangan gelap gulita kedap cahaya, kedap suara, kedap suasana, kedap segala-galanya, termasuk kedap rasa. Bahkan tanpa ingatan yang masih ada di dalam memori otak kita. Sehingga persepsi kita menjadi kosong melompong.

Meskipun segala hiruk pikuk ada di sekitar kita, tidak akan terdeteksi oleh jiwa, karena seluruh jendela untuk ’mengamati’ alam dunia telah tertutup. Jiwa kita benar-benar bakal ’sendirian’ karena otak yang berada di dalam tempurung kepala telah terisolasi dari dunia sekitarnya. Agaknya, begitulah lorong gelap kematian yang bakal menyergap jiwa, sesaat setelah maut datang menjemput. Yakni, ketika seluruh saraf-saraf sensorik kita hancur bersama membusuknya seluruh jaringan sel-sel tubuh.

Ini mirip sebuah pesawat televisi yang tak memunculkan gambar dan suara apa pun karena antenanya tak menangkap sinyal-sinyal elektromagnetik yang berseliweran di sekitarnya. Apalagi jika diputus dari sambungan listriknya. Itulah saat-saat datangnya kematian. Oleh karena itu, hilangnya fungsi pancaindera dan hati benar-benar bisa bagaikan datangnya kematian saat seseorang masih menjalani kehidupannya.

Maka bersyukurlah kepada Allah yang telah menciptakan indera dan hati. Yang dengannya kita menjadi bisa menikmati segala keindahan ini. Memang semuanya serba dibatasi kemampuannya. Tetapi, justru itu kita harus mensyukurinya. Bayangkan betapa menderitanya, jika seluruh indera kita memiliki kemampuan yang tidak terbatas. Anda akan bisa melihat benda-benda kecil yang selama ini tidak kelihatan. Mulai dari kuman-kuman, bakteri, virus, molekul, atom dan elektron yang bergetar-getar memusingkan, sampai pada bangsa jin yang bentuknya menyeramkan. Bahkan segala dinding pembatas yang kita buat di rumah-rumah kita, tidak ada gunanya lagi karena kita bisa melihat segala yang ada di baliknya. Apakah kehidupan ini tidak bertambah semrawut karenanya?

Demikian pula jika pendengaran kita tidak dibatasi oleh-Nya. Seluruh suara di alam semesta akan terdengar dengan jelasnya. Oh, betapa menderitanya. Suara di kejauhan yang mestinya tidak ingin kita dengar, kini menjadi terdengar sebagaimana suara-suara di dekat kita. Suara-suara yang tadinya pelan, kini terdengar sama kerasnya dengan suara-suara yang memekakkan telinga. Suara-suara makhluk gaib yang tadinya tak kita sadari, kini bersaing dengan makhluk-makhluk yang kelihatan. Bahkan, bayangkan, seluruh suara di luar angkasa nun jauh disana kini terdengar sebagaimana suara getaran partikel-partikel di alam sekitar kita. Betapa memekakkannya dunia kita. Sungguh tak bisa kita bayangkan betapa menderitanya hidup manusia..!

Nah, Allah membatasi semua itu dengan menyetel kemampuan panca indera, hati, dan akal kita, supaya kita bisa menikmati segala karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana...


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

No comments:

Post a Comment