Perbedaan
diantara kita sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena, ini adalah Sunnatullah.
Hukum Allah, yang dikenal pula sebagai ’hukum alam’ oleh orang-orang yang tidak
menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Ya mereka menamakannya sebagai The
Law of Nature, sedangkan kita menyebutnya sebagai The Law of God.
Meskipun, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka menggunakan hukum Allah, yang
terbentang sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ya, memang, sunnatullah bekerja tidak
hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua makhluk-Nya di alam semesta.
Gravitasi
Bumi adalah hukum alam, Kekekalan Energi adalah hukum alam, Elektromagnetik,
Nuklir, ekosistem, sosial-politik, budaya, ekonomi, dan semua hukum di sekitar
kita adalah hukum alam. Yang sekaligus hukum Tuhan. Semua berada di dalam Grand
Law, yang bekerja berdasar hukum keseimbangan. Karena, ternyata alam
semesta ini diciptakan oleh-Nya dengan menggunakan sistem keseimbangan dinamis.
Jika alam
sekitar mengalami ketidak-seimbangan, ia akan dengan sendirinya ’mencari jalan’
untuk menyeimbangkan diri lagi. Gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor,
tsunami, angin badai, perampokan, pencurian, pembunuhan, penyakit, demonstrasi,
bangkrutnya rezim ekonomi dan politik, dan semua peristiwa di sekitar kita, tak
lebih adalah sebuah mekanisme keseimbangan dinamis itu. Sunnatullah, yang sudah
bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.
QS. Ar
Rahman (55): 7
Dan Allah
telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan).
QS. Al Mulk
(67): 3
Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
QS. Al
Infithaar (82): 7
Yang telah
menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh) mu seimbang,
Ya, seluruh
alam semesta bekerja menurut hukum keseimbangan itu. Barang siapa menabrak
keseimbangan sistem maka ia bakal ‘terpelanting’ seiring dengan besarnya usaha
yang dia lakukan. Dan barangsiapa ’menyatu’ dalam keseimbangan alam semesta,
maka ia akan memperoleh ’harmoni’ yang besarnya berlipat kali dibandingkan
usaha yang dia lakukan. Dalam istilah al Qur’an: siapa berbuat jahat akan
kembali kepada dirinya, dan siapa berbuat baik juga akan kembali kepada
dirinya. Itulah Sunnatullah. Dan sunnatullah tidak akan berubah sampai
hancurnya alam semesta.
QS. Al
Qashash (28): 84
Barangsiapa
yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih
baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa)
kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah
mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu
mereka kerjakan.
QS. Al
Mukmin (40): 40
Barangsiapa
mengerjakan perbuatan jahat (menabrak keseimbangan), maka dia tidak akan
dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa
mengerjakan amal kebajikan (harmoni dalam keseimbangan) laki-laki maupun
perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga,
mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa perhitungan lagi.
QS. Al Fath
(48): 23
Sebagai
suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu kala, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Maka,
agaknya kita perlu menyetel mind set alias pola pikir kita kembali
tentang cara kerja alam, alias cara kerja Allah ini. Hukum alam tidak berubah
sampai akhir zaman. Dengan hukum yang stabil inilah manusia bisa memahami
mekanisme kerja alam, sekaligus Sang Pencipta.
Bagaimana
Allah menciptakan alam semesta. Bagaimana Allah menciptakan manusia. Bagaimana
Allah menciptakan malaikat, jin, hewan, tumbuhan, dan benda-benda seluruhnya.
Bagaimana Allah menciptakan seluruh peristiwa kehidupan. Bagaimana pula Allah
memelihara dan menjalankan keseimbangan antara semua komponen di dalamnya.
Lantas, bagaimana kelak akan menghancurkan serta melenyapkannya kembali.
Kadang-kadang
ada diantara kita yang berpikir bahwa manusia telah mengintervensi sunnatullah?
Atau, bahkan ada yang berpendapat bahwa sesuatu bisa terjadi di luar
sunnatullah. Sesungguhnya, tidak ada satu pun kejadian bisa terjadi di luar
sunnatullah. Selama peristiwa itu terjadi di dalam alam semesta, ia pasti
berjalan mengikuti sunnatullah.
Apakah benda
yang jatuh ke atas, misalnya, adalah sunnatullah? Tentu saja. Karena, ia
menghasilkan gaya ’anti-gavitasi’. Apakah, laut terbelah adalah sunnatullah?
Tentu saja, karena terjadi Tsunami misalnya. Apakah seseorang yang tak mempan
dibakar itu juga sunnatullah? Tentu saja, karena tubuh manusia bisa
menghasilkan ’jaket elektromagnetik’ yang bisa melindungi tubuhnya dari energi
panasnya api. Apakah bayi tabung, kloning, stem sel, transplantasi organ, dan
rekayasa genetika itu adalah sunnatullah? Tentu saja, karena mereka sama sekali
tidak menciptakan apa pun, melainkan sekedar ’memanfaatkan’ cara kerja alam.
Yakni, cara kerja Allah.
Kalau ada
seorang pasien gagal ginjal, kemudian dicangkokkan ginjal orang lain kepadanya,
maka itu sama sekali tidak bekerja di luar sunnatullah. Karena, dia cuma
memanfaatkan mekanisme kerja jaringan di dalam tubuh manusia. Kalau ada
sepasang suami isteri memutuskan ikut program bayi tabung, dan lantas dokternya
mempertemukan sel telur dan spermanya di luar rahim, untuk kemudian dimasukkan
lagi ke dalam rahim si isteri, itu sama sekali bukan berarti dokternya
menciptakan bayi dan menyaingi Tuhan. Dia tetap saja bekerja berdasar sunnatullah,
yakni hukum biologi ’bab reproduksi’.
Bahkan, jika
seorang ahli biomolekuler berhasil ’menciptakan manusia’ lewat teknologi
kloning pun bukan berarti ia telah bekerja di luar sunnatullah. Dan lantas
menjadi pesaing Allah. Karena sebenarnya, dia cuma memanfaatkan sunnatullah
belaka. Karena, jika ia tidak memahami cara kerja Allah dalam rekayasa genetika
itu, ia tidak akan berhasil melakukan kloning..! Walhasil, tidak ada satu
peristiwa pun di alam semesta ini yang bisa keluar dari sunnatullah. Semuanya
berada di dalam kendali Allah. Dan berjalan atas izin-Nya.
Orang yang
berbuat jahat melakukan kejahatannya lewat sunnatullah. Sebaliknya, orang yang
berbuat baik melakukan kebaikannya juga di dalam sunnatullah. Lantas, apakah
itu berarti Allah mengizinkan orang berbuat jahat? Tentu saja. Kalau tidak
diizinkan, pasti dia tidak bisa berbuat jahat. Tetapi, ingat, diizinkan bukan
berarti diridhai-Nya. Siapa saja berbuat jahat, maka ia akan memperoleh
balasan kejahatan. Dan siapa saja berbuat baik, akan memperoleh balasan atas
kebaikannya. Semua tetap bekerja di dalam sunnatullah.
Apakah orang
mencuri diizinkan Allah? Tentu saja. Jika tidak diizinkan, ia pasti tidak bisa
mencuri. Tetapi, dari perbuatan jahatnya itu ia bakal menuai konsekuensi dari
sunnatullah yang bekerja. Jadi begitulah, iblis bekerja berdasar sunnatullah.
Sebagai aktor kejahatan, iblis telah diizinkan Allah untuk merayu manusia
berbuat kejahatan. Tetapi ingat, sunnatullah akan bekerja untuk memberikan
balasan yang setimpal kepadanya. Kapan? Bisa hari ini. Bisa besok. Bisa tahun
depan. Bisa ketika kematian datang menjemputnya. Atau, kelak di alam akhirat
sebagai balasan yang berlipat ganda besarnya.
Semakin lama
tertunda balasannya, semakin besar konsekuensinya. Perhatikanlah ketika sekelompok
masyarakat merusak hutan. Sesaat setelah hutan ditebangi, alam akan membalasnya
dengan suhu udara yang kering dan panas. Jika ini tidak segera diatasi,
misalnya dengan menanami kembali, maka tahun depan balasannya akan lebih besar.
Mungkin akan terjadi kekeringan di daerah itu. Jika tidak diatasi lagi, maka
tahun depannya akan terjadi tanah longsor. Kemudian waktu berikunya lagi banjir
bandang, dan seterusnya dan seterusnya, semakin lama semakin besar. Orang yang
berbuat dosa, dan tidak segera bertaubat kepada Allah, maka ia sedang
menyiapkan balasan yang lebih besar di masa depannya..!
Maka,
sungguh manusia bebas berbuat apa saja. Setiap diri akan bertanggung jawab atas
apa yang diperbuatnya. Barangsiapa memahami sunnatullah dengan sempurna, dan
mengikuti cara kerjanya, insya Allah dia bakal selamat di dunia dan akhirat.
Dan barangsiapa tidak belajar memahami sunnatullah, dan kemudian menabrak
mekanisme keseimbangannya, maka sungguh ia sedang menyiapkan penderitaan yang
akan menyengsarakannya ...!
QS. Al
Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa
saja di antaramu yang berkehendak maju atau mundur. Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya...
Wallahu
a’lam bishshawab
~ salam ~