Pagi yang
sejuk itu tampak beberapa orang tengah melakukan jalan-jalan pagi. Olah raga
pagi di akhir pekan sangat dinantikan bagi sebagian masyarakat Jakarta untuk
sekadar menghilangkan penat karena berbagai aktivitas. Udara segar sangat
langka ditemui di ibu kota itu setidaknya mampu merefresh otak mereka.
Mamat dan
kakeknya merupakan bagian dari mereka. Mamat yang masih duduk di bangku SD itu
bersama kakeknya melintasi kawasan mega kuningan Jakarta selatan. Mereka
melihat beberapa petugas keamanan berjaga-jaga di sekitar puing-puing
reruntuhan bangunan.
Mamat
berhenti. Ia menatap dalam-dalam bangunan itu dari seberang jalan. Ia tampaknya
mempunyai segudang pertanyaan atas bangunan yang terkoyak bom beberapa hari
sebelumnya.
Sang kakek
melihat cucunya. Ia mendekat dan berkata, “Itu hotel JW Marriot yang sering
muncul di televisi akhir-akhir ini.”
Bocah
berusia tujuh tahun itu bertanya, “Bangunan bagus kok dihancurkan ya Kek?.”
“Itu
merupakan ulah teroris yang selalu membuat kerusakan dan menimbulkan ketakutan
bagi orang lain.” Papar kakek.
“Katanya
perbuatan itu dilakukan untuk membasmi kemaksiatan?.” Sergah Mamat setelah
mengutip pendapat seorang komplotan pelaku yang berhasil ditangkap yang
disiarkan di televisi.
Kakek
tersenyum, “Mamat, niat baik itu harus dikerjakan dengan cara-cara yang baik
pula.”
Sang kakek
yakin, apapun tujuan kelompok yang melakukan pemboman ini, tindakan seperti itu
merupakan suatu bentuk kekejian yang meresahkan banyak pihak. Meski sasarannya
adalah orang-orang tertentu, namun kenyataannya banyak orang yang tidak
bersalah ikut menjadi korban.
Mamat sering
mendengar kegiatan teror dihubungkan dengan agama islam. Segelintir orang
merasa bangga dengan aksi yang mereka anggap sebagai jihad.
“Kok banyak
sekali ya Kek orang-orang mengatasnamakan ajaran agama untuk mengebom?.” Kejar
Mamat.
Dengan sabar
kakek menjelaskan.
“Agama Islam
adalah agama yang suci dan sejuk. Dalam menyampaikan ajaran agama tidak ada
unsur paksaan dan sangat menghindari pertumpahan darah. Itulah yang dilakukan
Rasulullah ketika berdakwah.
Namun sayang sekali agama yang damai dan rahmatan lil alamin ini malah dikotori
oleh orang-orang yang mengaku umat yang taat.”
“Terus, para
pelaku kerusakan itu mengaku telah berbuat kebajikan. Dan yakin akan masuk
surga, gitu?.” Mamat yang tampak belum puas.
“Begini Cu,
masuk surga atau tidak seseorang itu tergantung keputusan Allah, tuhan yang
maha adil. Kita tidak boleh menganggap masuk surga karena semata-mata amal
kita. Nikmat yang diberikan kepada kita di dunia ini masih jauh lebih mahal
jika dibandingkan dengan ibadah yang selama ini kita kerjakan. Jadi rahmat
Allah lah yang sebenarnya mengantar kita masuk surga-Nya. Untuk itu jangan
sombong dengan ibadah kita. Apalagi berbangga dengan perbuatan yang
menyengsarakan banyak orang.” Papar kakek bijak.
Mamat
merenungkan perkataan kakeknya. Ia terus berpikir dengan gejolak yang ada di
benak pikirannya.
“Kata ustadz
Syaiful, kita harus senantiasa ber-amar
ma’ruf nai munkar. Tapi tempat-tempat maksiat kok semakin banyak?.”
“Nah itulah
yang menjadi tugas pemerintah dan ulama’ kita. Mereka harus bekerjasama dan
saling mendukung satu dengan yang lainnya. Bukan malah saling menjatuhkan.
Karena sebagai pilar, rapuh tidaknya suatu Negara tergantung seberapa besar
peran mereka.”
Sang kakek
mengusap lembut kepala Mamat dan bertanya, “Kira-kira apa do’a Mamat untuk
Negara kita?.”
“Mamat
berdo’a semoga umat Islam bisa rukun dan saling menyayangi antarsesama muslim,
serta saling menghormati dan menghargai dengan pemeluk agama lain. Sehingga
kita akan saling membantu untuk memajukan Indonesia.” Celetuk bocah lugu itu.
Harapan
Mamat terlihat sederhana, yang barangkali semua orang tidak kesulitan memahaminya.
Namun itu akan sulit terwujud jika masing-masing kelompok menganggap dirinya
paling benar, paling suci dan dengan mudahnya menyalahkan golongan lain
walaupun sesama muslim.
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah),
negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah
berhala-berhala.” (Q.S Ibrahim [14] : 35)