oleh Agus
Mustofa
·
~ DILARANG
SYIRIK, DIPERINTAH SYIAR ~
Perbuatan
yang paling ‘dibenci’ Allah adalah syirik alias menyekutukan Allah dengan Tuhan
lain. Dalam Al Qur’an perbuatan syirik disebut sebagai dosa besar yang tidak
diampuni oleh Allah. Kecuali, pelakunya bertaubat dan kemudian hanya bertuhan
kepada Allah saja.
Maka,
orang-orang musyrik yang dulu menyembah berhala di zaman jahiliyah pun, ketika
kemudian bertuhan kepada Allah, mereka memperoleh ampunan dari Sang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Artinya, tidak diampuninya dosa syirik itu
adalah ketika seseorang masih terus melakukan atau sedang menjalankannya. Jika
sudah tidak lagi, tentu saja akan diampuni-Nya, karena Dia adalah Dzat yang
Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
QS. Al
Furqaan (25): 70
kecuali
orang-orang yang bertaubat (dari kemusyrikannya), beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS. Al
Israa’ (17): 25
Tuhanmu lebih
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang
baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
Pada
hakekatnya, seluruh proses keberagamaan seorang manusia adalah beranjak dari
musyrik menuju muslim. Musyrik itu menyekutukan Allah, sedangkan muslim adalah
berserah diri hanya kepada-Nya. Persis seperti yang diucapkan oleh nabi Ibrahim
sebagai The Founding Father agama Islam, yang kemudian kita abadikan
dalam shalat.
QS. Al
An’aam (6): 103
Tidak ada sekutu
bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama muslim (berserah diri kepada Allah)".
Bentuk kemusryikan
sungguh sangat beragam. Ada yang musyrik dengan cara menyembah patung berhala.
Ada yang musyrik dengan menjadikan manusia dan malaikat sebagai bagian
dari unsur ketuhanan. Ada yang musyrik dengan menjadikan harta benda,
kekuasaan, dan segala kepentingannya sebagai ‘tuhan-tuhan’ yang tak dinamainya
tuhan, tetapi pada prakteknya dia telah bertuhan kepada segala macam selain
Allah itu.
Setiap kita
sebenarnya memiliki kadar kemusyrikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Dan itu
tidak akan diampuni-Nya ketika kita tidak segera beranjak menuju muslim sejati.
Cobalah tanyakan pada diri sendiri: sudahkah Anda benar-benar terbebas dari
kemusyrikan? Dan sudah bisa berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam
menjalani hidup ini? Dalam suka maupun duka?
Ketika harta
benda Anda ludes dimakan api misalnya, dan seluruh tabungan di bank lenyap
karena banknya bangkrut, gemetarkah Anda? Putus harapankah Anda? Ataukah bisa
bertawakal dan berserah diri kepada-Nya?
Ketika orang
yang sangat Anda cintai, tiba-tiba pergi meninggalkan Anda untuk selamanya,
lemaskah persendian tubuh Anda, larut dalam kesedihan yang mendalam dan putus
asa? Ataukah bisa bersabar dan bersandar kepada-Nya?
Ketika
segala fasilitas dan kenyamanan yang Anda nikmati sekarang tiba-tiba runtuh, merasa
habiskah Anda? Ataukah, masih bisa terus tersenyum sambil bekerja keras kembali
di jalan Allah, Sang Pemurah..?
Jawabannya
akan menggambarkan seberapa besar tingkat kemusyrikan kita kepada Allah.
Semakin merasa kehilangan atas segala sesuatu itu, maka semakin besar rasa
kebergantungan kita kepada ’tuhan’ selain Allah. Semakin musyriklah kita.
Sebaliknya, semakin tawakal dan sabar dalam menghadapi segala permainan hidup
ini, semakin besar pula keyakinan kita kepada-Nya, insya Allah telah bertauhid
secara lebih sempurna. Berarti, kita telah berhasil menerapkan makna laa
ilaaha illallaah dalam hidup, bahwa ’’tiada sesuatu pun yang layak
dijadikan sebagai tempat bergantung, kecuali Allah...’’
Insya Allah
kita semua sudah paham dengan substansi tauhid. Bahwa kita dilarang melakukan
kemusyrikan dalam bentuk apa pun, sekecil apa pun, karena yang demikian itu
bisa mengotori penghambaan kita kepada Allah.
Akan tetapi
perintah bertauhid atau larangan syirik ini tidak berdiri sendiri. Allah juga
memerintahkan kita untuk melakukan syiar. Dua hal ini ~ bertauhid dan bersyiar
~ bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang yang sama. Seluruh
nabi dan utusan Allah perintah utamanya hanya dua, yakni: ’’ajak manusia untuk
bertauhid, dengan cara syiar yang baik...’’. Keduanya dilakukan dalam ’satu
tarikan nafas’.
Lantas
siapakah yang harus kita syiari? Apakah umat Islam saja? Ataukah seluruh umat
manusia? Dengan mudah kita bisa mengetahui jawabannya, dari pertanyaan ini:
untuk siapakah al Qur’an diturunkan dan untuk siapakah Nabi Muhammad diutus?
Apakah untuk umat Islam saja, ataukah untuk seluruh manusia? Juga, untuk
siapakah misi rahmatan lil alamin ini diwahyukan? Untuk umat Islam saja
ataukah untuk seluruh manusia?
QS. An
Nisaa’ (4): 174
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad) dan telah Kami turunkan
kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).
QS. Al
Anbiyaa’ (21): 107
Dan tiadalah
Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.
Ternyata,
Allah menjawab dengan sangat gamblang di dalam firman-firman-Nya, bahwa misi
Rasulullah dan Al Qur’an adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.
Bahkan seluruh alam. Berarti, Islam harus disyiarkan kepada siapa saja. Bukan
hanya kepada umat Islam. Justru yang belum Islam. Yang belum berserah diri
kepada Allah. Yang belum bertuhan kepada-Nya. Yang belum mengakui Tuhan
sesungguhnya, Sang Penguasa alam semesta.
Lantas
bagaimana caranya? Apakah dengan cara memusuhi mereka yang belum Islam? Apakah
harus membuat gap psikologis yang tidak perlu? Apakah dengan menjelek-jelekkan
siapa saja yang belum bertuhan kepada Allah? Apakah dengan menjauhi mereka?
Ataukah
sebaliknya? Dengan menunjukkan kehangatan dalam persahabatan. Dengan
menunjukkan kepemaafan. Dengan menunjukkan sifat suka menolong dan berbuat
kebajikan. Dengan memberikan teladan yang baik dalam kehidupan. Dengan
argumentasi-argumentasi yang masuk akal dan bisa diterima semua pihak secara
terbuka.
Sungguh akan
menjadi ’sangat aneh’, kalau kita ingin syiar tapi sambil terus membuat gap
psikologis, membangun sikap permusuhan, dan menjauhi orang-orang yang ingin
kita syiari...(?)
Bukankah,
Rasulullah pun malah mendoakan orang-orang musyrik agar mereka menjadi muslim?
Dan doa Rasulullah itu dikabulkan Allah. Maka, Umar bin Khaththab dan Hamzah
yang tokoh musyrikin Quraisy pun masuk Islam. Bahkan menjadi pahlawan Islam
yang luar biasa tangguhnya.
Larangan
berdoa untuk kaum musyrikin itu adalah memohonkan ampunan, saat mereka masih
berbuat kemusyrikan. Ya tentu saja. Lha wong mereka tidak bertuhan
kepada Allah, kok dimintakan ampun kepada Allah. Musy ma’ul kata
orang Mesir, alias nggak masuk akal. Tentu saja Allah tidak akan
mengampuninya, karena mereka kan memang tidak bertuhan kepada-Nya? Maka
kita menjadi paham, ketika Allah mengingatkan para nabi yang karena
kelembutannya masih memohonkan ampunan buat mereka. Yakni, Nabi Ibrahim
terhadap ayahnya, Nabi Nuh terhadap anaknya, dan nabi Muhammad terhadap
pamannya.
Akan tetapi,
bagi para penyembah berhala yang sudah menjalankan Tauhid dengan
sebenar-benarnya ~ hanya bertuhan kepada Allah ~ sungguh ampunan Allah
sedang menunggu mereka di depan pintu surga...
Maka, dalam
konteks ini marilah kita tebarkan semangat rahmatan lil alamin
setulus-tulusnya bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya kepada saudara-saudara
kita yang muslim. Melainkan juga kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabat kita
yang belum Islam. Seluruh umat manusia. Sambil terus berdoa kepada Allah
mudah-mudahan umat akhir zaman ini mendapat petunjuk dari Allah Sang Maha
Bijaksana untuk bertuhan hanya kepada Sang Penguasa sejati: Allah azza
wajalla...
Bisa kan,
kita menyiarkan agama rahmatan lil alamin ini tanpa harus mengorbankan
ketauhidan? Kecuali, kalau kita belum yakin betul siapa Tuhan sejati Penguasa
Jagat Raya yang hebat ini ... :)
QS. Al Hajj
(22): 67
Bagi tiap-tiap
umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka
tidak sepantasnya mereka berbantahan denganmu dalam urusan ini. Dan serulah
mereka kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan
yang lurus.
QS. Asy
Syuura (42): 15
Maka dari
itu, serulah (mereka ke jalan Allah) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan
kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu
amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) bakal kembali"
QS. Ali
Imran (3): 159
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.
Wallahu
a’lam bishshawab
~ salam ~