“Wow! benarkah?” tanya Ubed.
Ubed mencoba terus mendengarkan Ivan bercerita. Sudah hampir
satu jam Ivan bercerita panjang lebar. Ivan adalah teman yang baru ia kenal dua
hari lalu. Ia bertemu pertama kali di rumah kosnya. Perbincangan itu terjadi
saat Ivan berkunjung untuk kali kedua di tempat yang ia tinggali.
Dalam obrolan santai itu, Ivan selalu mendominasi. Namun
Ubed mencoba mengontrol raut mukanya agar tetap terlihat biasa.
Sesekali Ubed menambahi cerita atau sekadar mengekspresikan
ketakjubannya. Sebenarnya cerita Ivan sungguh membosankan baginya. Pembicaraan
yang terlalu self-centric itu membuatnya muak. Memang bukan perkara yang aneh
ada seseorang yang mendominasi dalam suatu obrolan. Mendominasi menunjukkan
antusisme. Tapi jika hanya itu yang
dilakukan Ivan, tentu saja Ubed tidak akan merasa panas telinganya. Hal yang
membuatnya harus meninggalkan percakapan itu adalah sikap Ivan yang terkesan
menuturi atau menceramahi. Sehingga orang-orang disekelilingnya tampak bodoh.
Ubed mulai mencari cara untuk bisa keluar. Pandangannya
menyapu benda-benda sekelilingnya. Ia berharap ada sesuatu yang bisa
membantunya. Setelah menyisir meja yang ada di hadapannya, matanya terhenti
pada benda berbentuk kotak kecil yang sudah sangat akrab dengan manusia. Ya,
handphone memang alat yang reasonable untuk melepaskan kita dari situasi yang
kurang mengenakkan. Bisa sekadar melihat jam, mengecek SMS masuk, pura-pura
browsing, atau berlagak seolah-olah menerima telpon.
Ia pencet tombol merah yang berada di ujung kanan atas. Di
sana terbaca pukul 16.00.
Sambil senyum,
“Sorry, aku pamit dulu.” Kata Ubed.
Ivan dan yang lain mempersilakannya. Ia segera menuju
kamarnya.
Sesaat ketika ia terpisah dari perbincangan itu, Ubed
terdiam. Ia terpaku dalam duduknya. Nampaknya ia memikirkan sesuatu. Sesuatu
yang mengganjal di pikirannya.
“Astaghfirullah...” ucapnya.
Tiba-tiba ia merasa begitu bersalah.Ia membandingkan apa
yang baru ia rasakan dengan teman-temannya. Ia mencoba memikirkan apa yang
dirasakan teman-temannya ketika ia bercerita seperti Ivan. Barangkali orang
lain merasakan seperti yang ia rasakan.
Tuhan memang maha lembut seperti salah satu namanya Al-latif. Dia kerapkali mengingatkan
dengan cara-cara yang sangat halus. Hingga hal itu tidak akan disadari tanpa
sedikit perenungan mendalam.
Ubed berfikir ini adalah teguran Allah kepadanya jika
barangkali ia juga suka mendominasi, suka melebih-lebihkan cerita, dan sering
membanggakan diri dalam bercerita.