Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan yang tiada akhir. Begitulah kata bijak yang kerap kali terngiang di telinga kita. Yang mana sebuah perjuangan membutuhkan pengorbanan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Baik berupa tenaga, waktu, biaya, ataupun pikiran demi mendapatkan hasil yang menjadi dambaannya.
Perjuangan tidak selalu berakhir manis seperti yang kita idam-idamkan, juga tidak selamanya sesuai dengan keinginan yang senantiasa kita harapkan. Kenyataan yang terjadi bisa saja berkata lain, atau malah sebaliknya. Kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan itulah yang sering dinamakan kegagalan.
Kegagalan yang mendera berpotensi membuat seseorang putus asa, patah arang, dan frustasi yang pada akhirnya berakhir depresi. Fenomena demikian akan semakin tampak bila personal yang bersangkutan mendramatisir diri dengan menjustifikasi bahwa persiapannya sudah matang dan usahanya maksimal. Bahkan do’a pun telah dilakukan. Dalam artian tawakal sudah optimal menurutnya. Cukupkah demikian?
Sebelumnya kita pahami apa yang dimaksud dengan tawakal. Tawakkal berasal dari fiil madhi yakni, ”wakkala” yang artinya berserah diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan pasrah diri kepada Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah, sesudah berikhtiar, baru berserah kepada Allah.
Secara umum makna tawakal meliputi pemasrahan (berserah) diri kepada Allah atas segala usaha (ikhtiar) yang telah dilakukan dengan maksimal. Pasrah di sini berarti menerima dengan lapang dada atas ketentuan Allah secara totalitas, bukan parsial.
Dalam keseharian kita melakukan rancangan yang dianggap sangat matang, melalui persiapan-persiapan perfect versi kita, namun realita yang berlangsung terkadang melenceng dari perencanaan. Disitulah kita mengetahui rancangan milik kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan milik Allah. Karena Allah menguasai atas segala sesuatu dan mengetahui masing-masingnya secara detail.
Firman Allah :
”Katakanlah, ’Jika kamu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.’ Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Ali Imran[3] : 29)
Sering juga pengertian tawakal disalahartikan dengan pasrah dengan sagala apapun yang akan terjadi tanpa usaha sedikitpun. Memang Allah jika menghendaki kepada sesuatu pasti itu akan terjadi. ”Kun fayakun”, ”jadilah!, maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin : 82).
Namun perlu diperhatikan di dunia ini berjalan sunnatullah, ketentuan-ketentuan Allah yang berjalan alami dan universal yang sering juga disebut hukum alam. Seperti benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah akibat gaya gravitasi bumi, lalu air yang dipanaskan terus menerus akan mendidih dan berubah wujud (menjadi gas).
Itulah sebagian dari kebenaran-kebenaran umum di alam ini. Jadi orang yang rajin mengasah keterampilannya secara otomatis orang tersebut lebih mahir daripada yang tidak. Karena ke-Maha Adil-an Allah, semakin besar usaha seseorang semakin besar pula hasil yang akan dinikmati. Baik berupa rezeki, ilmu, maupun yang lainnya.
Rasulullah bersabda :
”Kalau kalian bertawakkal keada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah memberi rizki keada kalian sebagaimana burung diberi rizki, dia berangkat pagi dengan perut kosong dan kembali dengan perut terisi.” (HR. Tirmidzi)
Tujuan dari tawakal itu sendiri bisa kita lihat dari dua dimensi, keberhasilan di dunia maupun kesuksesan di akhirat kelak. Ketika orang bertawakkal, etos kerja yang dilakukan akan mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya, potensi yang dimilikinya pun menghasilkan daya yang optimal untuk mencapai target, hingga capaian-capaian satu persatu teraih.
Penyandaran segala urusan baik niat, usaha, maupun hasil kepada Allah merupakan perintah agama.
Firman Allah Ta’ala :
”Dan bertawakkallah kepada Allah, Dzat Yang Maha hidup dan Yang tidak mati.”
(QS. Al Furqon[25] : 58)
Dalam surah lain disebutkan:
Innallaha yuhibbul mutawakkilin
”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang bertawakal”
(QS. Ali Imran[3] : 159)
Jika kita mencintai seseorang, apapun yang menjadi permintaannya akan senantiasa berusaha kita penuhi. Bagitu juga hamba yang dicintai oleh sang Maha pengasih, segala permohonannya beserta surga dengan berbagai fasilitasnya disediakan baginya.
Dalam usaha yang ditekuni tentulah membuahkan hasil pada akhirnya. Orang yang bertawakkal dengan mewakilkan segala upaya kepada dzat Yang maha adil, akan merasakan sebuah ketenangan batin yang berikutnya merasakan kejernihan pikiran. Hal yang akan didapatkan dalam pikiran yang jernih adalah keadaan fokus ketika menyelesaikan persoalan, tiada keraguan atau terombang-ambingnya oleh banyaknya pilihan yang ada. Sehingga tak khayal ketika pikiran terpusat pada target, capaian hasil gemilang semakin terasa di ujung usaha seseorang.
Seseorang yang tawakal akan bersungguh-sungguh dalam usahanya dan menjalaninya dengan penuh ketenangan. Kondisi ini bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain yang berada di sekitarnya pun akan merasakan energi positif ini dan termotivasi untuk melakukan usaha yang sama.
Sebagai seorang manusia dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya, hendaknya menyandarkan segala urusan kepada Allah, Rabb semesta alam Yang maha mengetahui dan maha adil, serta selalu memanfaatkan potensi pikiran dan tenaga yang sudah dianugerahkan kepadanya untuk menjalankan suatu usaha dengan sungguh-sungguh.
”Dan bertawakallah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakkal.”
(QS. Al-Mai’idah[5] : 11)
Sumber rujukan :
• Al-Qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, PT Karya Toha putra.
• Abu sangkan, berguru kepada Allah, cetakan kesebelas, 2009, yayasan sholat khusyu’.
• Muhapi, Meraih sukses menggapai ridho ilahi, 2005, Kalam mulia.
• Imam Al-Ghazali. Mukasyafatul Qulb, diterjemahkan oleh Fatihuddin abul yasin. Penerbit bintang terang surabaya.