oleh Agus
Mustofa
~ METODE
ALAMIAH BELAJAR AGAMA ~
Metode yang
paling manjur dalam sebuah pembelajaran sebenarnya sangatlah sederhana:
‘tirulah cara belajar anak kecil’. Tentu saja yang alamiah. Jangan yang sudah
direkayasa oleh para orang dewasa yang ada di sekitarnya. Apalagi yang sudah
dimanipulasi untuk kepentingan tertentu, sehingga menjurus kepada doktrin, yang
menyebabkan anak-anak tidak tumbuh berkembang secara sehat dalam pemikirannya.
Menurut Anda anak-anak itu belajar secara paedagogi ataukah Andragogi?
Cobalah
lihat bagaimana proses belajar anak-anak untuk menjadi pintar.
- Keingintahuannya sangat besar. Kecuali punya kelainan bawaan. Segala macam dia eksplore untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Dimulai dari dirinya, dia sering memainkan-mainkan anggota badannya. Misalnya menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Mengulum-ngulum jari-jarinya. Memegang apa saja yang bisa dipegang dan seterusnya. Dia sedang mencoba mengenal, mempersepsi, merasakan sensasi, dan kemudian menyimpannya di dalam memori. Suatu saat, itu berguna untuk memutuskan sesuatu terkait kejadian yang sedang dia hadapi.
- Dia tidak mengenal rasa takut dan malu, karena dia belum punya persepsi terhadap sebuah sistem nilai. Kecuali sudah ditakut-takuti terlebih dahulu atau ditanamkan sikap terhadap suatu nilai moral tertentu. Yang ada di benaknya adalah keingintahuan, dan ia ingin melampiaskan sepuas-puasnya. Nah, pengalaman yang menakutkan, memalukan, menyedihkan, membahagiakan, membuat tertawa dan menangis, dan sebagainya itulah yang akan menjadi sistem nilai baginya setelah beranjak dewasa. Jika pengalaman masa kecilnya kurang lengkap terhadap sistem nilai ini maka biasanya saat dewasa ‘bermasalah’.
- Tidak mengenal kata ‘sulit’. Karena memang dia tidak tahu. Yang ada hanyalah, ingin memperoleh sesuatu. Jika dia tidak bisa memperoleh, dia akan berusaha terus untuk memperolehnya. Sekarang gagal, ya nanti. Nanti gagal, ya besok. Besok gagal, ya lusa. Dan seterusnya. Orang-orang di sekitarnyalah yang menyugesti dia untuk menganggapnya sulit. Padahal, sebenarnya bagi dia ‘mudah’ dan ‘sulit’ itu sama saja.
- Melihat dan meniru apa yang ada di sekitarnya. Sejak kecil anak-anak tidak tahu apa-apa. Dia menjadi tahu segala sesuatu karena melihat dan meniru yang ada di sekitarnya. Mulai dari cara tertawa, cara menangis, cara makan, cara mandi, tidur, bekerja, berpakaian, bergaul, berbahasa, sampai beragama. Karena itu, kita bisa mengenal asal usul suatu suku bangsa dari cara dia menyikapi dan melakukan sesuatu. Suku Jawa, suku Madura, Batak, Sunda, atau Cina, Arab, Eropa, Amerika, dan seterusnya, mereka memiliki kekhasan yang sama karena belajar dari lingkungan yang sama sejak kecil. Bagi orang Indonesia, bahasa Inggris dan Arab adalah sulit misalnya, tetapi bagi anak-anak yang terlahir di Inggris dan Arab tidak ada kata sulit. Demikian pula sebaliknya.
Maka, kalau
kita meniru proses pembelajaran pada seorang anak, kita akan memperoleh
analoginya untuk proses pembelajaran dan pendidikan agama bagi umat Islam.
Bahwa cara belajar yang paling efektif itu adalah:
1. Dimulai
dari keingintahuan yang besar. Kalau sang pembelajar sendiri sudah tidak ingin
tahu tentang hal tersebut, maka proses pembelajaran dengan metode apa pun tidak
akan efektif. Untuk menjadi efektif, kita harus membangkitkan dulu rasa
keingintahuan mereka. Ini bagi saya syarat utama yang harus dimiliki oleh
seorang pembelajar. Bagaimana caranya membangkitkan keingintahuan itu? Tentu
saja sangat beragam tergantung situasi dan kondisi yang menyertainya. Tetapi
yang paling efektif, menurut saya, adalah harus melibatkan kepentingan sang
pembelajar sendiri. Kalau dia saja sudah menganggap tidak berkepentingan dengan
topik yang sedang dibicarakan, tentu saja dia tidak akan tertarik. Dan kalau
sudah tidak tertarik, tentu tidak efektif.
Karena itu,
untuk bisa mengenal Allah misalnya, kita harus mengenal diri sendiri. Supaya
apa? Supaya kita tahu bahwa diri kita memiliki berbagai keterbatasan. Kalau
sudah tahu dirinya serba terbatas, maka ia akan merasa membutuhkan ’sesuatu’ di
luar dirinya yang bisa membuat dia memperoleh kepentingannya. Awalnya mungkin
dia meminta tolong kepada sesama. Tetapi setelah dia tahu bahwa sesamanya juga
memiliki serba keterbatasan, dia akan mencari yang lebih tinggi lagi. ’Sesuatu’
yang memiliki kriteria ’serba hebat’ dalam segala hal. Sehingga ketika dia
memperoleh masalah dia bisa curhat dan minta tolong kepada-Nya. Menjadi tempat
bergantung dan berlindung. Dari sinilah kemudian proses bertuhan itu bergulir
secara alamiah. Tentu saja, melewati tingkatan-tingkatan yang akan
menggiringnya sampai ke pertemuan dengan Sang Penguasa alam semesta secara
hakiki.
2. Jangan
merasa takut dan malu dalam beragama. Perasaan takut dan malu ini seringkali
dimunculkan oleh pihak-pihak diluar diri kita. Misalnya oleh guru atau orang
tua yang doktrinal. Misalnya, ditanamkan kepadanya, kalau dia belajar sendiri
pasti akan gagal. Akan tersesat. Ditemani setan, dan sebagainya. Kenapa tidak
dikatakan sebaliknya saja. Kalau dia rajin belajar sendiri dia akan sukses,
punya wawasan yang luas yang mengantarkannya pada kesuksesan, dan ditemani oleh
Allah Sang Maha Berilmu. Yang demikian tentu sangat positip buat sang
pembelajar.
Kalau belum
apa-apa sudah takut dan malu, maka proses pembelajarannya akan terhenti. Allah
pun di dalam al Qur’an selalu memotivasi kita untuk bangkit dengan semangat
yang kuat. Misalnya, dikatakan-Nya bahwa Dia tidak membebankan apa-apa
yang lebih dari kekuatan kita. Dia juga mengajarkan, bahwa Dia mengampuni
dosa-dosa yang dilakukan karena ketidaksengajaan. Dan sebagainya.
QS. Al
Baqarah (2): 286
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari) yang dikerjakannya...
QS. Al
Baqarah (2): 225
Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu
disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun.
Maka
bebaskanlah perasaan dan pikiran kita dalam proses belajar. Mirip anak kecil
yang pingin tahu segala. Yang penting niatnya diluruskan dulu. Karena, kata
Nabi, hasil usaha kita itu akan berbanding lurus dengan niat yang kita tanamkan
sejak awal. Kalau niatnya sudah buruk, hasilnya pasti buruk. Tetapi,
kalau niatnya ingin menjadi lebih baik, Insya Allah hasilnya akan lebih baik ke
masa depan. Yakinlah, jangan ragu sedikitpun.
QS. Faathir
(35): 43
...Rencana
jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri...
Sebagian
besar kegagalan sebenarnya disebabkan oleh faktor internal daripada eksternal.
Ada yang disebabkan oleh keragu-raguan dan ketidakyakinan. Ada yang disebabkan
oleh kurang kerasnya usaha. Ada yang disebabkan oleh ketidak konsistenan dalam
mencapainya.
Perbedaan
antara orang sukses dan tidak sukses itu sebenarnya hanya satu saja. Yakni,
orang yang tidak sukses: ketika gagal dia tidak bisa bangkit lagi. Sedangkan
orang yang sukses: ketika gagal, dia bangkit lagi. Gagal, bangkit lagi. Gagal
bangkit lagi, dan seterusnya. Sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Jika pun dia tidak memperoleh persis seperti apa yang dia harapkan, dia tetap
berpuas diri menerima apa yang telah dicapai dengan usaha kerasnya itu. Dan,
dia bisa mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut untuk upaya berikutnya.
Pada hakekatnya, dia tetap sukses memperoleh manfaat dari seluruh upaya yang
telah dia lakukan.
3. Perasaan
’sulit’ akan sesuatu sebenarnya ditanamkan dari luar diri kita. Misalnya, ada
yang mengatakan: memahami al Qur’an itu sulit lho..! Syaratnya banyak, ada
belasan. Harus ini dulu, harus itu dulu, dan seterusnya, barulah boleh
mempelajari al Qur’an. Ada pula yang mengatakan shalat khusyuk itu juga sulit
lho..! Harus begini, harus begitu, dan seterusnya baru bisa khusyuk. Dengan
cara begini, sang pembelajar sudah memperoleh ’beban’ dulu. Dan akhirnya,
benar-benar menemui kesulitan. Padahal itu adalah sugesti yang telanjur
tertanam di alam bawah sadarnya.
Kenapa tidak
dikatakan saja bahwa belajar agama ini mudah. Persis seperti yang diajarkan
Allah. Bahwa al Qur’an ini mudah untuk dipelajari, maka pelajarilah. Bahwa
beragama ini mudah, dan Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, bukan
hendak menyulitkannya. Dan seterusnya.
QS. Al Qamar
(54): 17
Dan
sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka
adakah orang yang mengambil pelajaran?
QS. Al
Baqarah (2): 185
... Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...
Sehingga
Allah memotivasi kita dengan firmannya, bahwa bersama kesulitan selalu ada
kemudahan. Dalam istilah lain, sebenarnyalah ’kesulitan’ itu diciptakan satu
paket dengan ’kemudahan’. ’Masalah’ diciptakan satu paket dengan ’solusi’.
Penyakit diciptakan satu paket dengan obatnya. Dan seterusnya. Tinggal
bagaimana kita bisa menemukan pasangan paket tersebut. Agama adalah sesuatu
yang mudah dan menyenangkan, serta memberikan kemudahan dalam menjalani
kehidupan.
QS. Alam
Nasyrah (94): 5-6
Karena
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama
kesulitan itu ada kemudahan.
4. Proses
pembelajaran tidak terlepas dari melihat contoh dan menirunya. Itulah teknik
yang sangat efektif. Belajar bahasa misalnya, lihat dan amati saja orang-orang
yang menggunakan bahasa itu dalam kesehariannya, dan kemudian tirulah. Maka
Anda akan bisa berbicara seperti pengguna aslinya. Demikian pula belajar
ilmu-ilmu lainnya. Amati, pahami, tirukan, biasakan, dan Anda pun menjadi BISA.
Tentu saja ada yang sekedar bisa, tapi ada juga yang ahli, bergantung pada
banyak hal yang menyertai proses pembelajarannya.
Proses
beragama juga demikian. Mendidik anak, keluarga, dan umat harus dengan
keteladanan. Tidak bisa hanya dengan omongan. Yang demikian dikritik keras oleh
Allah di dalam al Qur’an. ’Jangan hanya ngomong, sesuatu yang tidak kita
kerjakan’. Karena yang demikian ini tidak memberikan pendidikan secara efektif.
Dan sebaliknya mendidik umat menjadi orang-orang yang munafik.
QS. Ash
Shaff (61): 3
Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
Maka,
tanamkanlah proses beragama itu lewat keteladanan. Cara shalat kita akan ditiru
anak-anak kita. Cara berpuasa kita juga ditiru mereka. Cara berdoa, cara
bersedekah, cara bersikap terhadap orang lain, cara berbicara, cara berpikir,
cara menganalisa masalah, cara memutuskan persoalan, cara membuat perencanaan
ke masa depan, sampai pada cara kita ’besikap’ tehadap Tuhan dengan segala
dinamika ujian yang diberikan kepada kita, atau pun mensyukurinya. Kuncinya
adalah: keteladanan, keteladanan dan keteladanan...!
QS.
Mumtahanah (60): 4
Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia...
QS. An Nahl
(16): 120
Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi
patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan (Tuhan),
QS. Al Ahzab
(33): 21
Sesungguhnya
telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...
Tentu saja
yang dimaksud berteladan tidak harus sama persis secara fisikal. Melainkan
’sejiwa’ secara substantif. Karena, sepersis apa pun kita meniru orang lain,
tidak akan pernah menjadi orang lain itu. Kita tetap akan menjadi diri kita sendiri.
Cuma ’ketularan’ polanya saja.
Maka,
bagaimanakah kesimpulan proses pembelajaran yang efektif bagi umat Islam dalam
beragama? Menurut saya sebagai berikut:
1. Jika yang
kita didik adalah ANAK-ANAK, maka sebenarnya itu lebih mudah. Berikan saja keteladanan
agar dia meniru apa saja yang sedang kita ajarkan. Kalau kita mau dia menjadi
anak yang ahli ibadah, ajaklah dia bersama-sama untuk beribadah secara
istiqomah. Kalau kita mau anak kita menjadi orang yang santun dan berakhlak
mulia, maka contohilah dia dalam bertutur kata dan bergaul dengan siapa saja
dengan akhlak yang mulia. Jika kita ingin dia menjadi dermawan, maka ajaklah
dia sering-sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kepedulian kepada
kaum dhu’afa. Kalau kita ingin dia menjadi seorang pemikir hebat, maka ajaklah
dia untuk berdiskusi setiap saat tentang segala macam permasalahan sehingga dia
menjadi terbiasa menganalisa, menyimpulkan, memutuskan, dan mengekspresikan.
Dan seterusnya.
Dalam
konteks ini, orang tua dan guru harus menjadi pemicu, pemancing, fasilitator
dan TELADAN. Karena sang anak tidak akan meniru apa yang diomongkan, kalau
ternyata dia melihat kontradiksi antara omongan dan perbuatan guru atau orang
tuanya. Atau, setidak-tidaknya dia akan meniru cara melakukan ’kontradiksi’
itu. Misalnya, dia akan menjadi pembohong. Di mulut mengatakan A, di hati B, di
perbuatan C.
Sebagai
seorang panutan, tentu guru atau orang tua harus tampil seutuhnya.
Kepandaiannya akan ditiru. Cara menyampaikan gagasan akan ditiru. Cara menjawab
juga ditiru. Cara menghindar dan menyelamatkan diri juga ditiru. Termasuk cara
marah atau sabarnya ketika dikritik juga akan ditiru. Bahkan sampai kualitas
keikhlasan yang terpancar dari sikapnya pun akan ditiru.
Jangan segan
untuk menunjukkan ketidaktahuan di hadapan anak-anak kita. Justru, itu harus
dijadikan sebagai momentum untuk mengajarkan kejujuran, sekaligus motivasi
untuk pantang menyerah dalam mencari jawaban atas ketidaktahuan tersebut.
Keteladanan untuk terus belajar, dan tidak malu dengan ketidaktahuan, asalkan
terus berusaha mencari solusinya. Karena sesungguhnya sikap tidak bisa dibentuk
dengan omongan, melainkan dengan keteladanan. Dan kemudian dibiasakan.
2. Jika yang
kita hadapi adalah orang dewasa, yang sudah PUNYA sistem nilai yang terbentuk
sebelumnya. Dan sudah menjalankan keyakinannya. Ini lebih sulit. Karena mereka
sudah memiliki barrier alias dinding penghalang di benaknya, dalam
bentuk yang beragam. Sangat bergantung pada masa lalunya. Apakah dia orang yang
terbuka terhadap segala hal yang baru, ataukah dia orang yang tertutup dan ’keukeuh’
dengan pendapat lamanya. Yang paling sulit, adalah mereka yang sebelumnya sudah
masuk dalam lingkaran doktrinal.
Ada beberapa
teknik untuk mengajak mereka belajar agama. Tetapi pada dasarnya semuanya sama,
yakni: melibatkan sang pembelajar untuk mengalami dan menjiwai sendiri apa yang
sedang dipelajari. Kalau tidak, hasilnya dijamin tidak akan efektif. Biasanya
akan muncul sikap acuh tak acuh, merasa tidak butuh, menganggap remeh, tidak
berkepentingan, bahkan buang-buang waktu saja.
Yang ’paling
mudah’, dalam kelompok ini, adalah jika mereka bertanya duluan. Yang demikian
ini sudah terpenuhi syarat utamanya, yakni dia ’ingin tahu’ dan merasa
’membutuhkan’. Kecuali, kalau pertanyaannya hanya untuk ngetes..
:( Pada kelompok pertama ini, halangan psikologisnya relatif lebih
rendah. Kita tinggal memberikan jawaban yang logis dan bisa diterima oleh akal
sehatnya saja, sambil tentu saja tetap menunjukkan keteladanan. Bahwa kita juga
melakukan apa yang menjadi jawaban kita itu.
Yang ’kurang
mudah’ adalah mereka yang tidak bertanya tetapi memiliki pemikiran yang
terbuka. Keingin-tahuannya terhadap masalah tersebut agak kurang, sehingga kita
harus pandai-pandai ’menarik perhatiannya’. Supaya dia menganggap topik
pembicaraan kali ini adalah bagian dari kepentingan dan kebutuhannya.
Yang ’agak
tidak mudah’, adalah mereka yang membantah dengan konsep yang berseberangan.
Sebenarnya mereka sudah tertarik dengan topik tersebut, tetapi berbeda
pendapat. Kita harus bisa ’menunjukkan’ titik lemah dari pendapat dia terlebih
dahulu, baru kemudian mengajukan konsep kita kepadanya. Jika dia orang yang
terbuka, biasanya bisa menerima dengan lapang dada.
Dan yang
’tidak mudah’ adalah mereka yang ’menyerang’ dengan konsep yang berbeda, tetapi
sambil menutup hati dan pikirannya untuk menerima apa pun yang berbeda dengan
pendapat dia. Yang ini ’sama tidak mudahnya’ dengan mereka yang tidak bertanya,
tapi sambil menutup hati dan pikirannya dari pendapat apa pun yang berbeda
dengannya. Istilahnya cuek bebek... :(
QS. Al
Baqarah (2): 88
Dan mereka
berkata: "Hati kami tertutup". Sungguh Allah mengutuk mereka karena
keingkaran mereka; maka sedikit sekali diantara mereka yang ( bisa) beriman.
Wallahu
a’lam bishshawab
~ salam ~
No comments:
Post a Comment