oleh Agus
Mustofa
~ PANCA
INDERA & BLACK BOX BERNAMA OTAK ~
Otak adalah
organ manusia yang paling canggih, yang sampai sekarang belum ’dikenal’ secara
detil mekanisme kerjanya. Sehingga, salah seorang kakak saya yang dokter saraf
pun menyebutnya sebagai ’black-box’. Sebuah ’kotak-hitam’ yang begitu
misterius. Terutama jika dikaitkan dengan fungsi jiwa yang berada di
’baliknya’.
Suatu kali
saya berdiskusi dengannya panjang lebar. Dan saya tanyakan, bagaimanakah proses
yang terjadi di dalam otak, sehingga sebuah ’kehendak’ yang begitu abstrak bisa
berubah menjadi sinyal listrik yang ditransfer ke organ-organ tubuh sebagai
sebuah perintah untuk bergerak, misalnya. Jawaban yang saya terima hanya
’gelengan kepala’.
Saya tanya
lagi, ketika seseorang melihat suatu pemandangan yang indah lewat matanya, dan
kemudian pemandangan itu diterjemahkan oleh retina menjadi sinyal-sinyal
listrik yang diteruskan ke pusat penglihatan di otak. Sebenarnya apakah yang
sedang terjadi? Kenapa manusia bisa men-translate sinyal-sinyal itu
menjadi sebuah ’rasa keindahan’? Apakah bentuk rasa keindahan itu? Dia bukan
materi, dia bukan energi, melainkan ’persepsi’. Siapakah yang ’merasakan’
persepsi keindahan itu di dalam otak? Bukankah ’otak robot’ secanggih apa pun
tidak pernah bisa ’merasakan’ keindahan?
Bukan hanya
mata, tetapi juga merdunya suara, semerbak harum aroma bunga, rasa asin
manis dalam sebuah selera, dan kasar halus atau panas dinginnya cuaca. Bukankah
semua itu sekedar sinyal-sinyal listrik yang dihantarkan susunan saraf sensorik
ke otak belaka? Dan kemudian diubah menjadi sebuah image yang bisa
’dipersepsi’?
Kakak saya
yang dokter saraf itu pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia kemudian
mengatakan begini. Dunia luar dan alam jiwa itu memiliki perbatasan di otak.
Apa yang ada di ’dunia luar’ dan di ’alam jiwa’ sama sekali berbeda. Otak
menjadi semacam interface alias ‘alat penerjemah’ dari alam dunia ke
alam jiwa. Mirip sebuah kotak hitam yang ajaib.
Sinyal-sinyal
listrik yang berasal dari dunia luar jika masuk kepadanya akan diubah menjadi
sebuah persepsi yang abstrak. Seperti rasa keindahan, kesedihan, kebahagiaan,
keinginan, ketentraman, semangat, putus asa, rindu, dendam, iri, dengki, yakin,
ingkar, dan sebagainya, yang itu bukan berbentuk materi atau energi. Melainkan
’persepsi’ alias ’perasaan’ yang sangat abstrak. Dalam istilah kedokteran jiwa
disebut sebagai ’fungsi luhur’.
Sebaliknya,
jika perasaan jiwa yang sangat abstrak itu kembali melewati otak, maka ia akan
diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang kemudian diurai menjadi zat-zat
neurotransmitter yang bersifat material dan memiliki energi mekanik, sehingga
bisa menjadi sebuah perintah untuk bergerak atau menghasilkan aktivitas motorik
pada organ tubuh kita. Lha, kok bisa sesuatu yang ’abstrak’ diubah
menjadi materi / energi yang terukur, dan sebaliknya? Bagaimana mekanismenya?
Sekali lagi, belum ada ilmuan yang bisa menjawabnya dengan tuntas.
Jawaban yang
muncul adalah: ’pokoknya’, kalau ada sinyal listrik masuk ke otak melalui
saraf-saraf sensorik, otak akan mengubahnya menjadi ’persepsi jiwa’ yang
abstrak. Sebaliknya jika ada persepsi jiwa yang melewati otak, maka ia akan
diubah menjadi sinyal-sinyal listrik berupa energi mekanik yang kemudian
menjalar pada saraf-saraf motorik.
Jadi, jiwa
tak pernah bersinggungan langsung dengan dunia luar. Ia ’melihat’ alam dunia
lewat sebuah jendela bernama ’Otak’. Jika si manusia tidak punya otak, maka
sang jiwa pun tidak punya jendela untuk ’melihat’ alam dunia. ’Jendela’ berupa
otak itu memiliki kepanjangan tangan, yakni: enam indera. Yang lima adalah
mata, telinga, hidung, lidah & kulit. Sedangkan yang keenam adalah sebuah
sistem medan elektromagnetik yang membentuk poros antara otak-jantung.
Yang lima
indera bekerja secara elektromagnetik lewat sistem saraf dengan memanfaatkan
sifat konduksi kelistrikan. Sedangkan yang keenam bekerja secara radiasi medan
elektromagnetik. Kecepatan rambat listrik dalam sistem saraf manusia adalah
sekitar 120 meter/ detik. Sedangkan radiasinya jauh berlipat kali lebih cepat,
bergantung pada seberapa tinggi frekuensi ataupun panjang gelombang yang
terpancar.
Pada
mekanisme pancaindera, otak akan menghasilkan zat-zat neurotransmitter yang
menjadi perantara antara otak dengan ujung saraf-saraf tepi. Baik yang masuk ke
otak maupun yang berasal dari otak. Sedangkan pada mekanisme radiasi indera
keenam, bertumpu pada getaran gelombang beta (>13 Hz), alfa (8-13 Hz), teta
(4-8 Hz) dan delta (< 4 Hz). Serta variasi sinyal informasi yang
menumpanginya.
Maka kalau
kita perhatikan sungguh sangatlah menakjubkan, organ yang bernama otak itu.
Seluruh aktifitas manusia – tubuh dan jiwa – dikendalikan secara sinergis
disini. Keseimbangan antara dunia luar dan dunia dalam semuanya bertumpu
disini. Dan menariknya, otak tidak memiliki pusat kendali. Karena, semua sel
otak yang berjumlah sekitar 100 miliar itu memiliki peran sentral. Jika rusak
satu, maka fungsi otak itu pun bakal menurun. Sebaliknya, jika sel-selnya
berkembang sehingga membentuk sirkuit-sirkuit yan lebih tebal dan meluas, otak
tersebut akan meningkat performanya.
Sebagai
misal, jika otak dilatih untuk mengingat secara terus menerus, maka sel-sel
yang terkait dengan memorinya akan berkembang. Ukurannya menjadi lebih besar,
’kabel-kabel’ sarafnya menebal, jumlah selnya bertambah banyak, dan kemudian
membentuk sirkuit saraf memori yang hebat. Orang tersebut menjadi memiliki
ingatan yang tajam. Sebaliknya, jika ingatan kita tidak pernah dilatih, maka
sel-selnya akan melemah, menyusut, dan kemudian sirkuitnya mengecil. Mirip
dengan otot yang dilatih fitness dan tidak. Semakin lama dilatih,
semakin kuat untuk digunakan mengangkat beban berat.
Demikian
pula kemampuan analisa, kemampuan berlogika, kemampuan menahan emosi, dan
kemarahan, mengendalikan kesabaran, dan berbagai sifat-sifat kebaikan, semua
itu akan melatih ’otot-otot’ dalam otak kita supaya menjadi lebih handal. Tentu
saja, butuh waktu untuk membuatnya hebat. Semakin hebat kemampuan otak
seseorang, maka semakin besar pula volumenya.
Dan karena
ukuran tempurung kepala kita relatif tetap, maka perkembangan otak itu akan
membentuk lipatan-lipatan di permukaannya. Semakin banyak lipatannya, menunjukkan
otak tersebut semakin cerdas dan sering dipakai. Sebaliknya, semakin sedikit
lipatannya, semakin kurang cerdas karena jarang dipakai. Jadi salah besar kalau
kita ’menyayangi’ otak kita dengan cara jarang-jarang memakainya. Konon, otak
orang Indonesia banyak yang masih mulus permukaannya dan tidak banyak
lipatannya, karena terlalu ’disayang-sayang’ pemakaiannya...! :(
Nah, maka
dalam konteks yang sedang kita bicarakan ini, indera kita adalah jendela bagi
jiwa untuk memahami dunia. Pusat imaging-nya ada di otak. Dan
’pemirsanya’ ada di balik otak. Allah menciptakan indera kita itu agar kita
bisa memahami alam semesta yang diciptakan-Nya. Yang tanpanya kita tidak akan
mengerti apa-apa. Persis seperti yang Dia ungkapkan di dalam firman-firman-Nya.
QS. An Nahl
(16): 78
Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati
(indera keenam) agar kamu bersyukur.
QS. Al
An’aam (6): 46
Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut
pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain
Allah yang kuasa mengembalikannya kepadamu?" Perhatikanlah, bagaimana Kami
berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian
mereka tetap tidak memperhatikannya.
Ya, apakah
jadinya kalau Allah mencabut kemampuan indera kita, termasuk hati sebagai
indera keenam untuk memahami? Maka, kita akan seperti disekap di dalam sebuah
ruangan gelap gulita kedap cahaya, kedap suara, kedap suasana, kedap segala-galanya,
termasuk kedap rasa. Bahkan tanpa ingatan yang masih ada di dalam memori otak
kita. Sehingga persepsi kita menjadi kosong melompong.
Meskipun
segala hiruk pikuk ada di sekitar kita, tidak akan terdeteksi oleh jiwa, karena
seluruh jendela untuk ’mengamati’ alam dunia telah tertutup. Jiwa kita
benar-benar bakal ’sendirian’ karena otak yang berada di dalam tempurung kepala
telah terisolasi dari dunia sekitarnya. Agaknya, begitulah lorong gelap
kematian yang bakal menyergap jiwa, sesaat setelah maut datang menjemput.
Yakni, ketika seluruh saraf-saraf sensorik kita hancur bersama membusuknya
seluruh jaringan sel-sel tubuh.
Ini mirip
sebuah pesawat televisi yang tak memunculkan gambar dan suara apa pun karena
antenanya tak menangkap sinyal-sinyal elektromagnetik yang berseliweran di
sekitarnya. Apalagi jika diputus dari sambungan listriknya. Itulah saat-saat
datangnya kematian. Oleh karena itu, hilangnya fungsi pancaindera dan hati
benar-benar bisa bagaikan datangnya kematian saat seseorang masih menjalani
kehidupannya.
Maka
bersyukurlah kepada Allah yang telah menciptakan indera dan hati. Yang
dengannya kita menjadi bisa menikmati segala keindahan ini. Memang semuanya
serba dibatasi kemampuannya. Tetapi, justru itu kita harus mensyukurinya.
Bayangkan betapa menderitanya, jika seluruh indera kita memiliki kemampuan yang
tidak terbatas. Anda akan bisa melihat benda-benda kecil yang selama ini tidak
kelihatan. Mulai dari kuman-kuman, bakteri, virus, molekul, atom dan elektron
yang bergetar-getar memusingkan, sampai pada bangsa jin yang bentuknya
menyeramkan. Bahkan segala dinding pembatas yang kita buat di rumah-rumah kita,
tidak ada gunanya lagi karena kita bisa melihat segala yang ada di baliknya.
Apakah kehidupan ini tidak bertambah semrawut karenanya?
Demikian
pula jika pendengaran kita tidak dibatasi oleh-Nya. Seluruh suara di alam
semesta akan terdengar dengan jelasnya. Oh, betapa menderitanya. Suara di
kejauhan yang mestinya tidak ingin kita dengar, kini menjadi terdengar
sebagaimana suara-suara di dekat kita. Suara-suara yang tadinya pelan, kini
terdengar sama kerasnya dengan suara-suara yang memekakkan telinga. Suara-suara
makhluk gaib yang tadinya tak kita sadari, kini bersaing dengan makhluk-makhluk
yang kelihatan. Bahkan, bayangkan, seluruh suara di luar angkasa nun jauh
disana kini terdengar sebagaimana suara getaran partikel-partikel di alam
sekitar kita. Betapa memekakkannya dunia kita. Sungguh tak bisa kita bayangkan
betapa menderitanya hidup manusia..!
Nah, Allah
membatasi semua itu dengan menyetel kemampuan panca indera, hati, dan akal
kita, supaya kita bisa menikmati segala karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana...
Wallahu
a’lam bishshawab
~ salam ~
No comments:
Post a Comment