oleh Agus
Mustofa
Perasaan
adalah hal yang abstrak, agaknya benar. Tetapi, apakah karenanya lantas tidak
bisa diukur? Eh, kayaknya nanti dulu. Karena, upaya untuk mengukur perasaan itu
kini semakin menunjukkan hasil. Meskipun upaya itu masih terus berproses menuju
kualitas yang lebih baik.
Bagaimana
cara mengukur perasaan? Tentu saja tidak bisa langsung. Melainkan harus diterjemahkan
dulu ke bahasa alat. Mirip dengan mengukur gelombang radio atau televisi
misalnya. Kita tidak pernah bisa ’melihat’ gelombang radio dan televisi itu
dalam bentuk yang sesungguhnya dengan mata dan telinga. Tetapi, kita lantas
bisa melihat dan mendengarnya ketika sudah dilewatkan alat terlebih dahulu.
Tenyata,
penelitian mutakhir semakin mengarah kepada kemampuan untuk mengukur perasaan
itu. Asal muasalnya, disebabkan oleh munculnya zat-zat biokimiawi yang
diproduksi oleh otak seiring dengan berubahnya perasaan seseorang. Namanya
neurotransmitter. Ada sangat banyak jenis neurotransmitter, yang ternyata
sangat khas terkait dengan jenis-jenis perasaan yang terjadi. Neurotransmitter
untuk kemarahan berbeda dengan kesedihan, berbeda dengan kegembiraan, berbeda
dengan kemalasan, berbeda dengan kecemasan dan sebagainya.
Nah dengan
memanfaatkan zat-zat yang diproduksi oleh sel-sel otak itu, kini ’perasaan’
semakin bisa didefinisikan, dan bahkan kemudian diukur kualitas maupun
besarnya. Perasaan gembira misalnya, ternyata adalah identik dengan
diproduksinya neurotransmitter bernama enkefalin oleh sel-sel otak.
Sedangkan rasa cemas, identik dengan keluarnya adrenalin yang membuat
jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Dan, perasaan malas disebabkan
oleh munculnya neurotransmitter GABA dan Serotonin.
Proses ini
bisa berlaku sebaliknya. Yakni, jika seseorang diinjeksi dengan zat-zat
tersebut, yang tadinya tidak gembira bisa menjadi gembira. Yang tadinya tidak
cemas bisa menjadi cemas. Yang tadinya tidak malas bisa menjadi malas. Yang
tadinya penakut, bisa menjadi pemberani. Yang tadinya sedih bisa menjadi
tertawa terus menerus. Dan seterusnya. Wah, ternyata ’perasaan’ mulai bisa
dikuantifikasi dengan peralatan...
Sebagian zat
itu terkandung di dalam Narkoba. Karena itu, para pemakai narkoba bisa menjadi
seperti orang gila dan berperilaku ’aneh’ dikarenakan zat-zat yang terkandung
di dalamnya mempengaruhi kerja otaknya. Ada yang terus menerus tertawa, padahal
tidak ada yang lucu dari apa yang dilihatnya. Ada yang menjadi tidak punya rasa
takut. Ada yang menjadi ’tenang’ berlebihan. Ada pula yang menjadi beringas.
Dan lain sebagainya.
Dengan kata
lain, ternyata ’perasaan’ bisa dikonversi menjadi zat-zat neurotransmitter. Dan
sebaliknya, zat-zat tersebut bisa dikonversi kembali menjadi perasaan. Dengan
demikian, ini bisa dijadikan sebagai media untuk mengukur perasaan. Bukan hanya
pada kualitasnya, melainkan juga pada ’dosis’nya secara kuantitatif.
Pengukuran
yang lebih maju adalah yang dilakukan secara elektromagnetik. Saya termasuk
yang melakukan pengukuran dengan alat semacam itu, yakni menggunakan kamera
aura. Dengan mengobservasi getaran tubuh seseorang, ternyata kita bisa mengukur
’suasana hati’ alias perasaannya. Yaitu, setelah diterjemahkan terlebih dahulu
menjadi warna-warna cahaya. Tinggi rendahnya frekuensi pada diri seseorang
ternyata menggambarkan seberapa besar tingkat emosinya.
Jika
emosinya sedang tinggi, maka jantung sebagai ’Hati Luar’ akan bergejolak,
berdegup-degup tidak beraturan. Getaran jantung itu merembet ke seluruh tubuh,
bisa sampai menyebabkan tangan seseorang gemetaran, bibirnya juga bergetar, dan
seluruh tubuhnya menggeletar. Jika dalam kondisi demikian, badan orang itu
dihubungkan ke sensor kamera aura, maka bisa dipastikan warna auranya akan
merah.
Derajat
warna merah itu bermacam-macam, mulai dari yang gelapsampai yang terang. Dan
bisa menunjukkan seberapa besar tingkat kemarahannya. Bahkan alat di klinik
aura kami, di Surabaya, bisa merekam secara video dalam kurun waktu
tertentu. Sehingga akan terlihat perubahan warnanya secara realtime.
Pada saat orang tersebut bisa mengendalikan emosinya, warna merahnya memudar,
kemudian berganti menjadi warna-warna yang lebih sejuk. Misalnya, hijau, biru,
nila, ungu, sampai putih.
Getaran
jantung, getaran perasaan di Otak, dan warna-warna aura yang dihasilkan selalu
sinkron secara konsisten. Ini menunjukkan, bahwa perasaan di otak yang sangat
abstrak itu setelah ditransfer ke jantung menjadi desiran elektromagnetik yang
bisa diukur kualitas dan besarnya. Dengan memahami ilmu warna aura, kita lantas
bisa menerjemahkan makna warna itu secara psikologis kembali, bahwa seseorang
itu sedang berada dalam pengaruh perasaan tertentu.
Sebagai
perbandingan, Anda bisa melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh
pakar-pakar Brain-Heart dari Institute of HeartMath. Bahwa gelombang jantung
dan otak itu ternyata sangat riil hubungannya sehingga bisa diukur langsung
dengan menggunakan Electro Cardio Graph (ECG) dan Electro Encephalog Graph (EEG).
Pancaran
gelombang perasaan yang berasal dari otak yang masih lemah, akan menjadi
berlipat kali lebih kuat ketika getarannya sudah diresonansikan ke jantung. Ini
karena kuat medan jantung berlipat-lipat kali lebih besar dibandingkan otak.
Sehingga seperti masuk ke dalam amplifier saja layaknya. Dan kemudian
bisa menebar keluar dirinya.
Dalam
penelitian itu bisa digambarkan Kuat Medan Elektromagnetik yang muncul dari
getaran jantung seseorang. Radiasinya bisa diukur sampai jarak 1 meter lebih
dari tubuhnya. Sehingga, bisa mengimbas kepada orang-orang yang berada di
dekatnya. Inilah penjelasannya, kenapa berdekatan dengan orang yang emosional,
Anda akan ikut-ikutan emosional. Dan berdekatan dengan orang-orang yang sabar,
Anda akan terimbas menjadi sabar pula. Ternyata getaran jantung (Qalb)
Anda teresonansi oleh getaran jantung (Qalb) seseorang yang ada di dekat
Anda itu.
Bukan hanya
kuat medannya, ternyata pola gelombangnya pun bisa menjadi sinkron ketika
perasaan kita dengan seseorang itu sepaham dan saling mengerti. Disana juga
digambarkan gelombang otak dan gelombang jantung orang yang bersalaman. Ketika
belum bersalaman, gelombang otak si A berbeda dengan gelombang jantung
si B (tentu saja). Tetapi, ketika bersalaman, gelombang otak si A
sinkron dengan gelombang jantung si B, dalam bentuk gelombang yang
harmonis.
Maka, apa
kesimpulannya…?
Ternyata,
manusia memancar-mancarkan gelombang elektromagnetik yang berporos pada
mekanisme Otak-Jantung yang kita kenal sebagai bahasa Qalbu. Pancaran
itu bisa bersifat internal ~ dalam diri sendiri antara dada & kepala ~
maupun eksternal yang mengimbas orang lain di sekitarnya. Perasaan lembut akan
menularkan kelembutan, perasaan kasar akan menularkan suasana emosional yang
membuat orang di sekitarnya tidak betah, dan kemudian pergi menjauhinya..!
QS. Ali
Imran (3): 159
Maka
disebabkan perasaan penuh kasih (rahmat) dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...
Wallahu
a’lam bishshawab
~ salam ~
No comments:
Post a Comment