oleh Agus
Mustofa
Betapa
beratnya tertimpa bencana. Harta, benda, nyawa, dan segala yang kita cintai
bisa hilang seketika. Ujiankah atau siksa? Itulah pertanyaan yang sering
berkecamuk dalam hati dan pikiran kita. Tapi, barangsiapa bisa mengambil hikmah
dari bencana, mereka bakal bangkit menjadi umat yang kuat dalam menyusuri drama
kehidupan untuk menuju kepada ridha-Nya.
Banyak yang
salah kaprah dan ’agak ceroboh’ dalam melihat sebuah bencana. Ada yang langsung
memvonis sebagai azab Allah. Ada pula yang ’menyelamatkan diri’ dengan
mengatakan ini sekedar ujian, padahal dia sebenarnya ikut menjadi penyebab
bencana . Ketidakjelasan dalam menyimpulkan sebuah musibah atau bencana akan
membuat kita tidak bisa mengambil hikmah yang ada di dalamnya.
Jika kita
mau mengambil sudut pandang holistik, Insya Allah kita bisa melihat sebuah
bencana secara lebih proporsional. Bahwa ada 2 jenis bencana yang bisa melanda
manusia. Yang pertama adalah, bencana yang bersifat alamiah. Dan yang kedua,
adalah bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia dalam mengelola alam.
Bencana yang
bersifat alamiah, adalah bencana yang memang sudah menjadi bawaan alam. Bahwa
alam semesta ini memang sedang menuju pada kerusakan yang semakin hari semakin
parah. Ibarat manusia, usianya sudah semakin tua. Otot-ototnya semakin kaku,
persendiannya bertambah lemah, otaknya mulai pikun, dan organ-organ di dalam
tubuhnya mulai mengalami mal fungsi. Maka, bermunculanlah penyakit degenerative
alias penyakit tua, yang tidak bisa tidak bakal mengenainya.
Alam pun
mengalami hal yang serupa. Bumi kita ini sudah sangat tua. Diperkirakan sudah
berumur sekitar 5 miliar tahun. Sudah mulai ’batuk-batuk’, dan ’otot-otot’
maupun ’persendiannya’ mulai lemah. Jadi, jangan heran semakin hari semakin
banyak bencana dimana-mana. Mulai dari angin badai, gempa bumi, gunung meletus,
tsunami, berbagai anomali iklim, dan lain sebagainya. Memang sudah bawaan alam.
Bukan hanya
bencana alam, melainkan juga musibah yang lain seperti kecelakaan transportasi,
kekacauan sosial-ekonomi-politik, munculnya berbagai kejahatan, dan lain
sebagainya. Inilah yang di dalam Fisika disebut sebagai peningkatan Entropi
alam. Yakni, bertambahnya kekacauan seiring dengan bertambahnya usia alam
semesta.
Rasulullah
pun sudah memprediksi sejak awal, bahwa semakin mendekati hari akhir, tingkat
kekacauan dan kejahatan akan semakin besar. Di segala bidang. Sehingga, kata
Rasulullah, berpegang pada petunjuk agama akan menjadi sedemikian beratnya.
Bagaikan memegang bara api. Digenggam terasa panas, dilepas kehilangan
pegangan. Tapi sungguh, siapa yang tetap istiqomah berpegang tali Allah akan
selamat dunia dan akhirat.
QS. Al
Baqarah (2): 256
...
barangsiapa tidak mengikuti Thaghut (selain Allah) dan beriman hanya
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
QS. Luqman
(31): 22
Dan
barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebajikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali
yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.
Jadi, kita
harus sudah bersiap diri bahwa ke masa depan tingkat kekacauan akan semakin
besar. Tapi, tidak usah gelisah dan khawatir, karena selama kita tetap
berpegang teguh kepada petunjuk Allah, Insya Allah akan selamat. Istilah ayat
di atas adalah: hanya beriman kepada Allah, berserah diri, dan berbuat
kebajikan sebanyak-banyaknya. Segala urusan berada di tangan-Nya, dan terjadi
sesuai kehendak-Nya.
Jenis
bencana yang kedua, adalah bencana yang ’semata-mata’ disebabkan oleh manusia.
Misalnya, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, kekacauan musim
disebabkan oleh global warming, berbagai kekacauan dan kecelakaan, dan
semacamnya. Di satu sisi, dipengaruhi oleh entropi alam semesta yang meningkat
sehingga ada ’dorongan’ munculnya kekacauan, disisi lain dalam waktu bersamaan,
manusia menambah ’dorongan’ itu dengan perbuatannya.
Meskipun,
kondisi alam semakin tua, sebenarnya jika manusia banyak berbuat kebajikan dan
tidak serakah dalam menjalani hidupnya, jenis bencana yang kedua ini bisa
diminimalisir. Kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, global warming, dan
semacamnya itu mestinya tidak harus terjadi separah ini.
Beberapa
penyebab yang memicu bencana-bencana ’buatan’ ini adalah perusakan hutan yang
demikian parah, penggunaan bahan-bahan gas yang merusak lapisan ozon, emisi
panas dari industri dan transportasi yang berlebihan, dan sebagainya. Sehingga,
mengganggu keseimbangan alam. Selain itu, eksploitasi bahan-bahan tambang dari
dalam perut Bumi yang demikian brutal dalam dua abad terakhir, juga memperparah
ketidak-seimbangan planet ini.
Ibarat ban
mobil, putaran bumi butuh keseimbangan. Jika ban mobil sudah tidak seimbang,
maka putarannya akan menyebabkan mobil bergetar. Dan kemudian, harus dilakukan balancing
terhadap bannya, dengan menambahkan lempeng-lempeng timah di velg mobil itu.
Dengan demikian, ban akan berputar seimbang kembali.
Bayangkan,
jika itu terjadi pada bumi yang sedang berputar kencang dengan kecepatan rotasi
sekitar 1600 km per jam. Tentu akan terjadi ketidak seimbangan di dalamnya.
Memang tidak seterasa pada bodi mobil, karena ukuran bumi sangat besar
dibandingkan dengan kita sebagai penghuni. Tetapi akan muncul getaran pada
bagian dalam bumi, yang bisa menyebabkan gerakan-gerakan lempeng bumi dan magma
lebih aktif dari sebelumnya.
Bumi
berusaha mengembalikan keseimbangan dirinya, karena alam memang memiliki
mekanisme keseimbangan dinamis. Dan yang paling cepat bereaksi adalah
bagian-bagian yang cair, lembek, atau mengambang. Mereka akan bergerak menuju
ke tempat-tempat tertentu untuk membangun keseimbangan.
Maka, proses
mencari keseimbangan kembali itu akan menyebabkan magma dalam perut bumi,
lempeng tektonik, dan perilaku air menjadi lebih aktif. Sehingga memicu
munculnya gempa tektonik lebih sering dari sebelumnya, gunung-gunung lebih
’bergairah’ untuk menghasilkan magma dan kemudian meletus, kemungkinan terjadi
tsunami meningkat, serta banjir dimana-mana akibat kacaunya pergerakan air dan
hujan. Ini akan terus terjadi sampai munculnya keseimbangan baru.
QS. Ruum
(30): 41
Telah nampak
kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Jadi,
meskipun berbagai bencana itu disebabkan oleh alam yang sedang mengalami
kenaikan entropi, manusia juga memiliki saham atas terjadinya semua bencana
ini. Disadari maupun tanpa disadari. Yang demikian ini, baru akan kelihatan
jika kita mau melihat penyebabnya secara holistik.
Kebanyakan
kita, terjebak pada penglihatan parsial atau sebagian-sebagian. Sehingga, kita
seringkali mengambinghitamkan alam belaka. Dan menghilangkan faktor manusia.
Khususnya, kejadian-kejadian di abad-abad terakhir. Namun, para ahli dan
pemimpin dunia kini sudah melihat korelasi yang demikian erat antara kerusakan
planet Bumi dengan kesalahan menejemen yang dilakukan oleh manusia. Karena itu,
lantas muncul berbagai upaya untuk menyelamatkan Bumi. Sayangnya, kepentingan
politik dan keserakahan ekonomi seringkali masih mengalahkan semua upaya itu.
Lantas,
bagaimanakah menyikapi bencana? Apakah ini ujian ataukan Azab Allah? Menurut
saya keduanya terjadi pada setiap ada bencana. Bergantung dari sisi mana kita
melihatnya dengan penuh kejujuran. Jika kita memang bersalah dalam bencana itu,
tentu kita harus melihatnya sebagai azab alias balasan atas perbuatan kita.
Supaya kita segera menyadari bahwa ada yang salah dengan perbuatan kita.
Persis
seperti peringatan ayat di atas. ’’Kami rasakan kepada mereka sebagian
akibat dari perbuatan mereka, agar mereka segera kembali...” Begitulah kata
Allah. Sebab, kalau tidak segera kita sadari, sungguh bencana berikutnya akan
lebih besar lagi. Dan akan memakan korban lebih banyak dari yang sudah terjadi.
Dan
celakanya, dampaknya bukan hanya mengena kepada pelaku kerusakan, melainkan
akan menimpa juga kepada orang-orang yang tidak bersalah. Persis seperti yang
diceritakan Allah dalam ayat berikut ini.
QS. Al
Anfaal (8): 25
Dan peliharalah
dirimu dari azab yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim
saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.
Karena itu,
kita diperintahkan Allah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar,
mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan. Itulah penyebabnya.
Supaya jangan sampai terjadi kejahatan yang dampaknya akan menimpa kita semua,
meskipun kita tidak ikut-ikut berbuat.
Jika ada
orang yang merusak hutan, cegahlah. Karena jika tidak, maka efek banjir dan
tanah longsornya bukan hanya menimpa orang yang merusah hutan. Melainkan semua
orang yang berada di dekatnya. Semakin rusak, semakin besar akibatnya. Dan
bersifat kolektif, bukan hanya orang per orang.
Ini mirip
dengan penumpang perahu yang sedang berlayar di lautan. Kalau ada seorang
penumpang yang mau membocori perahu, cegahlah. Sebab kalau tidak dicegah, dan
perahunya tenggelam, yang tenggelam bukan hanya si pembocor perahu. Melainkan
seluruh penumpang. Nah, kita hidup di sebuah planet yang sama. Jika Bumi ini
mengalami kerusakan, maka orang yang tidak berdosa pun akan ikut terkena
bencana.
Ketika semua
itu menimpa kita, bolehlah itu bisa disebut sebagai ujian. Karena, kita tidak
ikut berbuat kok ikut menerima akibatnya...! Maka, siksa atau ujian itu
bukan dilihat dari bencananya. Melainkan dari sisi kita. Apakah Anda masuk
dalam klasifikasi pelaku kerusakan sehingga menimbulkan bencana, ataukah hanya
sebagai korban saja. Keduanya tentu berbeda di mata Allah.
Jika ada
seseorang yang sedang mencuri saat terjadi Tsunami, dan kemudian ia mati di
dalamnya, tentu saja dia mati dalam keadaan berdosa. Sebaliknya, jika ada orang
yang mati di dalamnya saat dia sedang berbuat kebajikan, tentu dia mati dalam
keadaan khusnul khatimah. Tidak seperti sebagian pendapat yang kita dengar,
bahwa orang yang mati dalam sebuah bencana adalah mati dalam keadaan syahid...
:(
QS. Asy
Syuura (42): 30-31
Dan segala musibah
yang menimpa kalian (secara kolektif), adalah disebabkan oleh perbuatan
tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahan itu). Dan kalian tidak akan dapat melepaskan diri di
muka bumi, dan kalian tidak akan memperoleh seorang pelindung pun dan
tidak pula seorang penolong kecuali (memohon perlindungan kepada) Allah.
Dan lebih
penting dari semua itu, Allah sedang mengajarkan kesabaran kepada kita dengan
adanya bencana. Jangankan kita yang manusia biasa, para Nabi dan Rasul pun
diuji dengan bencana. Tetapi mereka tetap teguh dan istiqomah di jalan Allah.
Pantang menyerah, terus berbuat kebajikan sampai ajal datang menjemput. Sungguh
Allah menyukai orang-orang yang sabar, dan selalu berbuat kebajikan dalam
kondisi apa pun yang sedang ia terima...
QS. Ali
Imran (3): 146
Dan berapa banyak
nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang
bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak menyerah.
Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Bukan
seperti orang yang dikritik Allah dalam ayat berikut ini. Yaitu, mereka yang
berbangga hati dan lupa diri ketika diberi kenikmatan. Serta, berputus asa
ketika diberi cobaan. Bukan. Sungguh, Allah bakal memberikan balasan terbaiknya
hanya kepada orang-orang yang istiqomah dalam kebajikan dan kesabaran...
QS. Huud
(11): 9-11
Dan jika
Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat
itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi
tidak (tahu) berterima kasih.
Dan jika
Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya,
niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu
daripadaku"; sungguh dia menjadi sangat gembira lagi berbangga diri
kecuali
orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan selalu mengerjakan amal-amal
kebajikan; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.
Wallahu
a’lam bishshawab
~ salam ~
No comments:
Post a Comment