oleh Agus
Mustofa
Tadinya saya
tidak ingin menulis tanggapan lagi tentang buku ‘ Ternyata Akhirat Tidak Kekal’
yang kontroversial itu. Karena, buku yang saya tulis di awal tahun 2004 itu
sebenarnya sudah dibahas puluhan kali di berbagai forum yang saya hadiri. Dan,
kini sudah cetak ulang sebanyak 23 kali, tersebar sampai keluar negeri.
Kontroversi
yang dulu sebesar gelombang itu, kini memang sudah tinggal riak-riaknya saja.
Karena, dalam berbagai forum yang sudah saya hadiri, akhirnya audiens bisa
memahami buku itu setelah saya jelaskan secara panjang lebar. Sebenarnya,
sebagian besar kontroversi itu disebabkan oleh mereka yang alergi terlebih
dahulu terhadap judul buku, yang dianggap ‘menabrak keyakinan’ mereka selama
ini.
Kalaupun
sudah membaca isinya, biasanya mereka tidak membaca dengan hati yang jernih dan
terbuka, melainkan sudah didahului oleh apriori. Sehingga yang terjadi bukan
berusaha memahami pemikiran dan argumentasi yang tertuang dalam buku itu
melainkan sekedar berusaha mencari perbedaan dan kesalahannya.
Setelah
sembilan tahun buku itu beredar di kalangan luas, forum-forum kajian yang
mengundang saya untuk membedah buku tersebut sudah jauh menurun. Meskipun,
riak-riaknya masih bermunculan di sana-sini. Diantaranya, di dunia maya.
Termasuk di forum kajian DTM ini. Saya pun lantas teringat, bahwa di dunia maya
ini saya memang belum pernah memberikan klarifikasi secara komprehensif tentang
isi buku itu. Sehingga, mungkin terkesan tidak tuntas dan sepotong-sepotong.
Untuk itulah saya akhirnya memutuskan membuat tulisan serial berikut ini, mudah-mudahan
bisa memberikan gambaran lebih holistik tentang pemikiran saya dalam buku
tersebut.
Kontroversi
tentang akhirat tidak kekal ini sebenarnya sudah muncul sejak buku belum
terbit. Yakni, ketika saya belum menjadi penulis buku tapi sudah aktif memberikan
materi kajian di sebuah masjid di dekat rumah saya, kawasan Surabaya Selatan.
Di masjid yang terletak di kompleks perumahan itu saya kebagian mengisi materi
di minggu kedua. Minggu pertamanya diisi oleh seorang doktor filsafat agama,
dosen Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Minggu ketiganya juga oleh dosen
IAIN Sunan Ampel, doktor tafsir lulusan Al Azhar. Dan minggu keempatnya diisi
oleh ustadz dari kantor Depag Surabaya.
Seusai
subuh, minggu kedua di tahun 2002 saya memberikan materi kajian yang
kontroversial. Bahwa, menurut saya alam akhirat memang tidak kekal. Kesimpulan
itu saya dapatkan setelah mengkaji sejumlah ayat di dalam Al Qur’an serta
memahaminya dari sisi tauhid dan sains. Segala sesuatu selain Allah adalah
makhluk, dan makhluk tidak boleh disejajarkan dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Selain itu, sejumlah informasi tentang kekekalan akhirat, ternyata oleh Allah
dikaitkan dengan keberadaan alam semesta yang mesti dibahas secara saintifik.
Dan, sejumlah alasan lainnya yang detilnya akan saya uraikan dalam
tulisan-tulisan berikutnya.
Kajian
kontrovesial itu, tentu saja menyulut diskusi yang seru. Dan tidak selesai
dalam waktu 1,5 jam. Kemudian berbuntut sampai minggu ketiga, dimana pengisi
materinya adalah ustadz yang lain, yakni dosen tafsir. Jamaah kajian itu,
karena penasaran, menanyakan materi ‘Akhirat Tidak Kekal’ kepada sang dosen. Ia
pun menjawab dari sudut pandangnya, bahwa menurutnya, Akhirat adalah kekal.
Meskipun tidak sekekal Allah.
Jawabannya
yang mengatakan akhirat ‘kekal tetapi tidak sekekal Allah’ itu tentu saja
menjadi ‘umpan empuk’ bagi jamaah kajian yang sangat kritis. Karena, terkesan
membingungkan dari sisi bahasa. Lha wong kekal kok ada prasyarat
dan pembatasnya. ‘Kekal’ ya kekal saja, tanpa prasyarat. Tidak bergantung
kepada sesuatu. Ada selama-lamanya.
Selain saya,
di minggu ketiga itu kebetulan juga hadir dosen Ushuluddin yang biasanya
mengisi materi di minggu lainnya. Diskusi pun menjadi sangat menarik, karena
doktor Ushuluddin itu membahas materi tersebut dari sisi filsafat agama, dan
berpendapat bahwa yang kekal itu memang hanya Allah saja. Selain Allah Yang
Maha Kekal, sudah seharusnya tidak kekal. Meskipun Allah bisa berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya. Tapi pasti, makhluk tidak akan sama dengan Sang Khalik.
Tidak ada istilah ‘kurang kekal’, ‘lebih kekal’, ‘semakin kekal’, atau ‘paling
kekal’. Yang ada cuma: ‘kekal’ atau ‘tidak kekal’.
Diskusi
berjalan lebih dari dua jam, belum juga selesai. Belum ada titik temu. Sampai
sang doktor tafsir yang bertindak sebagai pengisi materi kajian itu
menghentikan kajian secara sepihak di saat puncak pembahasan, dengan alasan ada
acara lain yang harus dihadirinya. Keputusan itu, tentu saja menyulut
ketidakpuasan dan protes jamaah. Karena, kesimpulan kajian menjadi menggantung...
Dua tahun
kemudian, awal 2004 saya memutuskan menerbitkan materi tersebut sebagai buku
serial ke-2 DTM, setelah ‘Pusaran Energi Ka’bah’ yang saya terbitkan di akhir
tahun sebelumnya. Tentu saja suasana kontroversial muncul kembali. Bukan hanya
di dalam masjid di mana kami biasa melakukan kajian, melainkan di masyarakat
luas.
Kontroversi
pertama muncul saat saya meminta kata pengantar ke KH Mustofa Bisri alias Gus
Mus, pengasuh pondok Raudhatut Thalibien dan sesepuh NU itu. Ketika saya sowan
ke pondoknya di Rembang, saya di-test dalam sebuah diskusi yang panjang.
Yakni, sejak sesudah Isya’ sampai tengah malam. Akhirnya Gus Mus merasa perlu
untuk memberikan kata pengantar di buku itu.
Saya sangat
mengapresiasi kata pengantar Gus Mus, yang memberikan ruang untuk berbeda
pendapat dalam memahami ‘kekekalan Akhirat’. Beliau tahu bahwa pemikiran saya
ini kontroversial, dan berbeda dengan mainstream. Tetapi demi pendewasaan umat
yang selama ratusan tahun banyak yang taklid buta, Gus Mus memberikan kata
pengantar yang bijak. Yakni tidak melakukan pemihakan secara tegas, namun
menyodorkan kutub-kutub pemikiran yang ada dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Lantas, memberikan kesempatan kepada pembaca untuk
merenungkannya. Jadi, di dalam sikap Gus Mus pun sudah muncul kontroversi.
Begitu buku
ini saya luncurkan di Surabaya, Gus Mus memberikan dukungan dan berkenan untuk
hadir memberikan ceramah pembuka, yang isinya kurang lebih sama dengan kata
pengantar di dalam buku tersebut. Lantas, saya pun memberikan presentasi
tentang ‘Akhirat Tidak Kekal’ selama kurang lebih dua jam. Diskusi berjalan gayeng
dan penuh hikmah. Gus Mus hadir sampai akhir acara, bersama Zawawi Imran, Ratih
Sanggarwati, dan ratusan jamaah.
Esoknya,
berita peluncuran buku itu muncul di koran Jawa Pos dan sejumlah koran lainnya,
memantik kontroversi lebih luas. Mulai dari lembaga-lembaga formal semacam MUI,
perguruan tinggi dan para akademisi, sejumlah ormas Islam, sampai pada
forum-forum kajian informal di masjid-masjid. Sejak saat itu, saya menerima
berbagai undangan untuk melakukan klarifikasi atas tulisan saya.
Di berbagai
forum kajian selalu muncul kontroversi: ada yang sependapat, ada yang tidak
sependapat. Di MUI Jawa Timur maupun pusat, pendapatnya terbelah. Di sejumlah
perguruan tinggi Islam di berbagai kota yang saya hadiri, pendapatnya pun
berbeda-beda. Demikian pula di sejumlah pondok NU, forum kajian Muhammadiyah,
Lembaga pendidikan Al Qur’an, dan forum diskusi di masjid-masjid besar. Puluhan
forum sudah saya hadiri terkait dengan buku ini, Alhmadulillah yang tadinya
seperti gelombang samudera, sekarang sudah tinggal riak-riaknya saja.
Bukan hanya
dari segi jumlahnya, melainkan juga dari sisi kualitasnya. Dalam berbagai forum
‘pengadilan pemikiran’ itu, saya selalu disandingkan dengan pakar-pakar yang
mengritisi buku saya tersebut. Bukan hanya satu pembanding, seringkali tiga
sampai empat orang. Misalnya, yang terjadi di Pondok Baabussalam, Bandung.
Keempat pembicara pembanding itu berasal dari background yang berbeda:
seorang doktor Fisika, seorang lagi doktor Astronomi, yang ketiga adalah ahli
tafsir, dan yang keempat adalah kiai pengasuh pondok itu.
Di Medan,
materi ini dibahas oleh tiga orang pembanding: semuanya guru besar IAIN
Sumatera Utara. Saat itu saya diundang oleh Bank Indonesia setempat dalam forum
kajiannya. Demikian pula ketika di Banjarmasin, bahkan saya diminta memberikan
pembahasan materi Eskatologi – rangkuman buku Akhirat Tidak Kekal dan Tak Ada
Azab Kubur – di depan civitas akademika termasuk senat Guru Besar IAIN
Antasari. Juga di sejumlah pondok salaf seperti pondok Tremas di Pacitan dan
Nurul Jadid di Probolinggo; di Gresik, di Banyuwangi, Makassar, Tuban,
Ponorogo, Balikpapan, Samarindah, Bontang, Jakarta, dan puluhan forum lagi yang
saya tidak semuanya ingat. Bahkan di Makassar buku ini telah dijadikan tema
sentral disertasi S-3, dimana guru besar yang menjadi promotornya sempat
menjadi pembanding saat saya diminta bedah buku di kota Maros.
Ringkas
kata, saya hanya ingin mengatakan bahwa materi ini memang memicu kontroversi
pemikiran di hampir semua lini umat. Bahkan bukan hanya di kalangan umat Islam,
karena tidak sedikit penganut agama lain yang memesan buku ini langsung ke
penerbit. Termasuk juga ada seorang guru besar dari Singapura yang seorang
orientalis datang ke rumah saya di Surabaya; serta seorang atheis yang ikut
tertarik membahasnya di forum ini.. :)
~ salam ~
No comments:
Post a Comment