oleh Agus
Mustofa
MUNCULNYA
realitas alam semesta beserta segala isinya, diceritakan oleh Al Qur’an dengan
hirarki yang menarik. Bahwa segala sesuatu ini bermula dari SANG KEHENDAK.
Kehendak-Nya itulah yang mewujud menjadi INFORMASI penciptaan sebagai kalimat
‘KUN’. Dan lantas, mewujud menjadi SUNNATULLAH, dalam bentuk hukum-hukum alam
yang mengendalikan ruang-waktu-materi-energi sebagai penyusun semesta.
Sedangkan
ILMU, adalah pengetahuan atas segala realitas itu. Yakni, bentuk INFORMASI yang
‘terurai’ seiring dengan berkembangnya alam semesta. Seiring dengan proses
penciptaan yang terus berlangsung. Seiring dengan proses pemahaman ‘siapa’ yang
ingin menguasai ilmu itu.
Jika kita
mengarahkan ‘ilmu’ itu sebagai ilmu-Nya, maka dengan sederhana kita bisa
memahami, bahwa ilmu-Nya pasti meliputi seluruh alam semesta. Sebagaimana
berulang kali Dia firmankan di dalam kitab suci. Pengetahuan-Nya pasti meliputi
langit dan bumi, karena ruang-waktu-energi-materi ini memang adalah perwujudan
dari kalimat-Nya belaka. Sedangkan ‘kalimat’ itu muncul atas kehendak-Nya. Dan
‘kehendak’ itu adalah salah satu sifat-Nya. Jadi pengetahuan-Nya terhadap
realitas bersifat mutlak.
Di sisi
lain, 'ilmu manusia' berkembang seiring proses pembelajaran. Sepanjang usianya.
Sepanjang peradabannya. Yang baru ‘ribuan tahun’ belaka. Dan tak akan pernah
bisa memahami alam semesta yang demikian luasnya itu dengan ilmunya. Mengingat,
dimensi ruang yang maha raksasa, dimensi waktu yang tiada terkira panjangnya,
dimensi materi-energi yang semakin misterius di skala makrokosmos maupun
mikrokosmos.
Ilmu manusia
terus bergerak dalam koridor ‘dugaan-dugaan’ secara trial and error.
Pemahaman yang lalu ternyata ‘keliru’, maka diperbaiki dengan pemahaman hari
ini yang ‘seakan-akan’ sudah benar. Tetapi, sepanjang sejarah ilmu pengetahuan
kita selalu menjumpai fakta, bahwa ‘dugaan-dugaan’ sains itu selalu ‘keliru’
dalam berbagai skalanya.
Dulu mengira
materi terkecil adalah atom, ternyata ‘keliru’. Setelah itu mengira partikel
sub atomic, ternyata juga ‘keliru’. Setelah itu mengira quark, mungkin juga
akan ‘keliru’. Dan seterusnya. Sains menyebutnya sebagai ‘perkembangan’ ilmu.
Tetapi, Al Qur’an menyebutnya sebagai ‘dugaan-dugaan’ yang selalu ‘keliru’
dalam memahami realitas secara holistik. Hanya ‘benar’ dalam skala parsial dan
kondisional.
QS. An Najm
(53): 28-30
Dan mereka tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
dugaan-dugaan semata, padahal sesungguhnya dugaan-dugaan itu tidak berfaedah
untuk (membuktikan hakikat) kebenaran.
Maka
berpalinglah dari orang yang tak menghiraukan peringatan Kami, dan tidak mengingini
kecuali hanya kehidupan duniawi.
Itulah sejauh-jauh
pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui
siapa yang keliru dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa
yang mendapat petunjuk.
Maka kalau
kita berbicara dalam ranah hakikat kebenaran, kita harus mengacu kepada sang
pemilik kebenaran itu. Informasi-informasi yang akurat. Bukan trial &
error seperti yang ditunjukkan Sains. Karena, sebagaimana saya ungkapkan di
note sebelumnya, sains dimulai dari ‘ketidaktahuan’ dan akan berakhir di
‘ketidaktahuan’ pula. Itu sudah terbukti selama ribuan tahun perkembangannya.
Itulah ‘sejauh-jauh’ ilmu yang dimiliki manusia, kata Allah dalam ayat di atas.
Nah, Allah
menganjurkan para pencari kebenaran, untuk memandu proses pengetahuannya dengan
kitab suci. Karena dengan kitab suci inilah Allah mengarahkan proses keilmuan
agar tetap berada di koridor yang benar. Dan segera mencapai tujuan final dalam
usia manusia yang terbatas. Karena, tanpa petunjuk kitab suci, usia manusia
tidak akan cukup untuk menemukan hakikat kebenaran. Meskipun ditambah dengan
seluruh usia peradaban.
Apakah
hakikat kebenaran itu? Adalah realitas. Apakah hakikat realitas? Adalah
ruang-waktu-materi-energi. Apakah hakikat ruang-waktu-materi-energi itu? Adalah
informasi. Apakah hakikat informasi itu? Adalah kalimat KUN. Apakah hakikat
‘kun’? Adalah ‘Kehendak’. Dan apakah hakikat ‘kehendak’ itu? Ialah Diri-Nya.
Lantas, apakah hakikat DIA itu? Adalah laisa kamitslihi syai-un ~ ‘Tidak
Bisa Dijelaskan’. Karena kita semua berada di dalam-Nya, sehingga tidak mungkin
bisa menjelaskan tentang Dia, kecuali parsial. Itupun dipandu oleh Dia sendiri
lewat firman-firman-Nya.
QS. Thaahaa
(20): 110
Dia
mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.
QS. Ath
Thalaaq (65): 12
Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Nah, ketika
sudah sampai di hakikat segala kebenaran ini, ilmu manusia sudah tidak mungkin
menjangkau-Nya. Inilah yang berulangkali diceritakan oleh Al Qur’an. Bahwa
manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga mesti berpatokan pada
kitab suci yang menerangi pemahaman kita.
QS. Al Hajj
(22): 8
Dan di
antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (suci) yang bercahaya.
QS. Luqman
(31): 20
Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan
di antara manusia ada yang membantah tentang (eksistensi) Allah tanpa
ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi
penerangan.
Jangankan
tentang Allah, tentang yang gaib-gaib seperti akhirat saja misalnya,
pengetahuan manusia sudah tidak mencukupi untuk menjelaskannya. Allah
menyebutnya dengan kalimat: pengetahuan mereka ‘tidak sampai’ kesana.
Bahkan, ditegaskan mereka ‘buta’ tentang akhirat.
QS. An Naml
(27): 66
Sebenarnya pengetahuan
mereka tentang akhirat tidak sampai, malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat
itu, bahkan mereka buta tentangnya.
QS. Az
Zukhruf (43): 85
Dan Maha
Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang ada di antara
keduanya; dan di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Maka,
manusia yang tidak berpedoman kepada kitab suci akan terjebak pada kehidupan
dunia. Mereka mengira bahwa kematian adalah akhir dari segala-galanya. Dan
setelah itu tak ada kelanjutannya lagi. Oh, sungguh dia akan menyesalinya,
justru setelah kematian datang kepadanya.
QS. Al
Jatsiyah (45): 24
Dan mereka
berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja.
Kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali waktu".
Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.
QS. Al
Haaqqah (69): 27
Wahai,
seandainya KEMATIAN itulah yang MENGAKHIRI segalanya...
Penyesalan
selalu datang di akhir. Padahal, sama sekali tidak ada ruginya jika kita mau
lebih bijaksana. Bahwa ‘teko’ kecil yang ‘terselip’ di ruang angkasa di
sela-sela galaksi maha raksasa itu adalah sebuah realitas. Sama-sama riilnya
antara yang kecil dan yang besar. Sehingga menganggapnya sebagai ‘peluang
kecil’ yang harus dilupakan adalah sebuah ‘kesembronoan’.
Tetapi,
sebagaimana saya tuliskan di awal note ini, bahwa hakikat segala realitas ini
memang adalah ‘kehendak’. Artinya, terserah kepada siapa saja yang ingin
berkehendak. Apakah ia mau menelusuri realitas itu sampai kepada Sang Maha
Berkehendak, ataukah berhenti pada kehendak dirinya sendiri. Karena Allah
memang telah mengimbaskan kehendak-Nya kepada manusia lewat ruh-Nya, sebagai
‘pilihan bebas’ dengan segala konsekuensinya. Mau menjadi atheis maupun hamba
yang berserah diri hanya kepada-Nya, ya monggo-monggo saja… :)
~ Salam
Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~