Pagi itu Lutva tampak berpikir keras. Terlukis tiga garis
yang cukup jelas berkerut di dahinya. Sambil jari telunjuk kanannya memencet
pelipis kanannya, ia berharap menemukan jawaban atas apa yang sedang mengganjal
di pikirannya.
Kebingungannya berawal ketika ibunya membawakannya ikan yang
berukuran besar. Ikan itu dibeli dari pasar subuh yang cukup jauh dari rumahnya.
Saat itu ibunya terburu-buru untuk mengambil belanjaan lainnya yang tertinggal
di pasar. Lutva diminta sang ibu untuk menggoreng ikan yang masih segar
tersebut. Lutva memang sering melihat ibunya menggoreng ikan. Baginya pekerjaan
itu cukup mudah. Meskipun ia belum pernah melakukannya sendiri sebelumnya.
Kesempatan itu tak ingin disia-siakan gadis berumur sembilan tahun itu untuk
membuktikan bahwa ia layak diandalkan.
Ikan merupakan makanan kesukaannya. Sejak kecil ia selalu
meminta agar ibunya menyediakan ikan goreng di setiap menu sarapan. Namun ia
tidak pernah membayangkan jika sekarang makanan yang selalu menjadi favoritnya
itu mengharuskan ia untuk berpikir.
Meski seringkali ia melihat ibu memasak ikan, namun ada
sedikit perbedaan yang ia lihat kali ini. Ikan itu berbeda dari ikan yang biasa
dibeli ibunya. Ukurannya cukup besar jika untuk dimakan sendiri dan terlalu lebar
untuk digoreng dengan menggunakan kuali biasa.
“Aku harus mencari kuali besar.” pikirnya.
Lutva segera menuju dapur dan mulai membongkar-bongkar
peralatan masak di dalam lemari dapur. Sekian menit ia sibuk dengan membolak
balik perkakas dapur, ia tetap belum menemukan kuali yang ia butuhkan. Ide yang
terlintas dalam pikiran mengarahkannya untuk meminjam ke tetangganya. Bergegas
ia lari menuju rumah bu Rohmah, tetangga terdekat yang tinggal sebelah kiri
rumahnya.
“Permisi Bu, bolehkah saya pinjam kuali yang besar?” pinta
Lutva.
Wanita separuh baya itu menoleh dan menyahut,
“Apakah yang kamu cari seperti itu?” tunjuk bu Rohmah ke
benda yang menggantung di tembok dapur.
“Bukan Bu, mungkin ada yang lebih besar lagi dari itu?”
lanjut Lutva.
Bu Rohmah menggelengkan kepala sambil senyum. Lutva
selanjutnya menuju rumah kedua. Kali ini ia berharap akan mendapatkan kuali
yang ia maksudkan. Sayang hasilnya pun tidak jauh berbeda. Tetapi ia tidak
berhenti di situ. Ia terus mencari sampai ia benar-benar menemukan benda yang
bisa digunakan untuk menggoreng makanan kesukaannya.
Sudah lima rumah ia datangi. Tak satu pun dari mereka
memiliki kuali besar. Ia memutuskan untuk pulang. Ia menunggu ibunya pulang
dari pasar dan berharap membawa kuali besar. Lutva duduk di meja makan. Matanya
tak henti-hentinya memandang ikan sambil membayangkan jika ikan itu sudah
matang.
Tak selang lama ibunya datang. Sebelum ia mengeluhkan
sulitnya mencari kuali besar, sang ibu mendahuluinya,
“Kenapa ikannya belum digoreng?”
“Aku belum menemukan kuali besar yang cukup untuk menggoreng
ikan itu Bu.” kata Lutva dengan wajah sedikit putus asa.
Lutva menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk menemukan
kuali besar. Sang ibu hanya tersenyum dan membungkukkan badan di depan Lutva.
Wajahnya menghadap lurus dengan wajah Lutva yang tampak basah oleh keringat itu.
“Sayang, kamu tidak harus mempunyai kuali besar untuk bisa
menggoreng ikan yang besar.” kata ibu lembut.
Lutva masih bingung dengan pernyataan ibunya. Ia penasaran
bagaimana ikan sebesar itu bisa matang kalau menggoreng dengan kuali kecil yang
ada di dapurnya. Ibu menangkap raut muka polos putrinya yang masih belum
mengerti itu.
“Kamu tetap bisa menggorengnya dengan kuali kecil yang kita
miliki. Caranya potong dulu ikan itu menjadi ukuran kecil-kecil dengan pisau, lalu
tinggal goreng deh.”
“Oh, iya!” sahut Lutva sambil menepuk pelan kepalanya.
Lutva mengangguk. Ia terlihat lega. Hari itu Lutva
mendapatkan pelajaran berharga. Ia memahami bahwa banyak cara untuk
menyelesaikan pekerjaan. Selalu ada cara kedua jika cara pertama tidak
berhasil. Seperti halnya yang ia pahami bahwa tidak harus mempunyai kuali besar
untuk menggoreng ikan yang besar.
No comments:
Post a Comment